Pengertian Dana Talangan Haji

Pengertian Dana Talangan Haji Dana Talangan Haji adalah pinjaman dari Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna memperoleh kursi  haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Lembaga Keuangan Syariah ini menguruskan pembiayaan BPIH berikut berkas-berkasnya sampai nasabah tersebut mendapatkan kursi haji. Atas jasa pengurusan haji tersebut, Lembaga Keuangan Syariah memperoleh imbalan, yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Hukum Dana Talangan Haji Lembaga–lembaga Keuangan Syariah di dalam menerapkan Dana Talangan Haji merujuk kepada Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah).  Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), ...

ARBITRASE



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa dan bernegara membawa keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bidang hukum acara perdata terkait dengan penyelesaian sengketa perdata melalui perdamaian mediasi.
Untuk tegaknya hukum perdata materiil, maka diperlukan Hukum Acara Perdata karena hukum perdata materiil tidak mungkin berdiri sendiri lepas dari hukum acara perdata (hukum perdata formil). Kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain. Hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang–undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Akan tetapi sering terjadi bahwa hukum materiil perdata itu dilanggar sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan atau ditegakkan.
 Untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan–peraturan hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. Dari apa yang telah diuraikan diatas dapatlah dikatakan bahwa obyek daripada ilmu pengetahuan hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan Negara. Perantaraan Negara dalam mempertahankan hukum materiil perdata itu terjadi dengan peradilan. Yang dimaksudkan dengan peradilan disini adalah pelaksanaan hukum dakam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat.
            Adanya suatu proses perdamaian di Pengadilan seperti yang diatur dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan PERMA Prosedur Mediasi di Pengadilan) diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berperan mengambil inisiatif, guna menyelesaikan sengketa yang dibantu pihak ketiga sebagai mediator.PERMA Prosedur Mediasi di Pengadilan tersebut menjadi standar umum bagi pedoman pelaksanaan mediasi yang diintensifkan ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri. Mediasi memiliki kedudukan penting dalam PERMA tersebut, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses beperkara di pengadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan mediasi dengan hasil kesepakatan dan kegagalan yang dicapai serta faktor penyebabnya menjadi bahan pertimbangan utama untuk menilai tingkat efektifitasnya.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa definisi dari Mediasi?
b.      Apa  manfaat / keuntungan  mediasi dalam penyelesaian sengketa ?
c.       Proses Mediasi ?
d.      Tahap-tahap Mediasi
e.       Peranan Mediator Dalam Proses Mediasi ?
f.       Perkembangan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan (ADR) di Indonesia ?
g.      Berakhirnya Mediasi ?







BAB II
PEMBAHASAN
1.1    Definisi Mediasi
Mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” atau penengah, yaitu penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak netral sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi. Sedangkan secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, “mediare” yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup, perburuhan pertanahan, perumahan, dan sebagainya yang merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan efisien.
menurut Laurence Bolle, Mediasi adalah proses pengambilan keputusan di mana pihak dibantu oleh mediator dalam hal ini upaya mediator untuk meningkatkan proses pengambilan keputusan dan untuk membantu para pihak mencapai hasil yang mereka inginkan bersama.
Garry Goopaster mengemukakan pengertian mediasi, Mediasi ialah suatu proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.

Secara umum mediasi dapat diartikan upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar  pendapat untuk tercapainya mufakat.[1]

Dalam Perma No. 02/ 2003, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 6,  yaitu: Mediasi adalah penyelesaian sengkete melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.  Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3),  pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.  
Berdasarkan uraian diatas, mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusukan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak netral. Tugas pihak netral tersebut adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainya sehubungan dengan masalah-masalah yang di sengketakan.

1.2           Manfaat / Keuntungan Mediasi dalam penyelesaian sengketa
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi sangat dirasakan. Bahkan dalam mediasi yang gagal, meskipun belum ada penyelesaian yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung telah mampu mengklarifikasi persoalan dan mempersempit perselisihan. beberapa keuntungan penyelesaian sebagai berikut :
1.      Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relative murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan.
2.      Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologi mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.
3.      Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4.      Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan control terhadap proses dan hasilnya.
5.      Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui consensus.[2]
6.      Mediasi memberi hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.[3]

1.3  Proses Mediasi
Mediasi pada umumya dilakukan melalui suatu proses suka rela, atau mungkin didasarkan pada perjanjian atau pelaksanaan kewajiban (peraturan) atau perintah pengadilan. Untuk proses mediasi di pengadilan, ketentuan dalam pasal 7 Perma No.02/2003 mengatakan bahwa Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam peraturan Mahkamah Agung.
Namun demikian, dengan cara apapun pembentukan mediasi telah dilakukan, apabila mediasi telah diterima, maka seluruh proses mediasi harus dilakukan secara suka rela sampai berakhirnya mediasi. Demikian pula, proses mediasi melalui pengadilan atau di luar pengadilan dilakukan secara rahasia (tertutup).
            Masalah kerahasiaan proses mediasi di pengadilan secara tegas dinyatakan dalam perma No. 02/2003, pasal 14 Ayat 1 yaitu: proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain. Tetapi proses mediasi untuk sengketa publik, yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertahanan, dan perburuhan (yang melibatkan kepentingan banyak buruh), terbuka untuk umum.

a.               Tahap Mediasi
Mediasi yang sukses biasanya menghasilkan sebuah perjanjian penyelesaian sengketa. Setelah ditandatangani, hasil mediasi tersebut mengikat dan dapat dipaksakan sebagaimana layaknya sebuah kontrak atau perjanjian.
Dalam perma No. 02/2003 disebutkan bahwa “jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan di tandatangani oleh para pihak. Kesepakatan wajib memuat klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara yang telah selesai” (pasal 11 ayat 1 dan 2).
Demikian pula, pasal 6 ayat 6 UU No.30/1999 yang berkaitan dengan hasil mediasi dalam bentuk tertulis secara tegas menyebutkan “Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator, dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Jika mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, terdapat kewajiban untuk mendaftar kesepakatan tertulis di pengadilan negeri dalam waktu 30 hari sejak penandatanganan (psl 6 ayat 7 UU No. 30/1999).

Untuk penyelesaian mediasi di pengadilan, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian. Dalam pasal 1 butir 1 perma No. 02/2003 disebutkan “ Akta perdamaian adalah dokumen kesepakatan yang merupakan hasil proses mediasi.”
Pada tahap akhir proses mediasi, biasanya mediator membantu para pihak untuk menyusun kesepakatan.  Dalam membantu para pihak menyusun suatu persetujuan mediasi secara tertulis, mediator memfokuskan perhatian untuk lebih dulu menghasilkan draf. Mediator harus meyakini bahwa para pihak telah memahami sepenuhnya draf perjanjian. Perlunya penyusunan draf perjanjian diakomodasi dalam pasal 11 ayat 3 Perma No. 02/2003 bahwa “Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
                                                                                                                        
2.2 Peranan Mediator Dalam Proses Mediasi
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
1. netral
2. membantu para pihak
3. tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Dalam PP No.54/2000 ditentukan kriteria untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, yaitu :
a)         Cakap melakukan tindakan hukum.
b)         Berumur paling rendah 30 th.
c)         Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling  sedikit 5 th.
d)         Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.

a.         Peranan Mediator
Mediator diharapkan mampu melaksanakan perananya untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa tertentu. Ia menjadi katalisator untuk mendorong lahirnya suasana yang konstruktif  bagi diskusi. Dalam praktik, beberapa peranan penting yang harus dilakukan mediator antara lain :
1.         Melakukan diagnosis konflik
2.         Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak.
3.         Menyusun agenda, memperlancar dan mengendalikan komunikasi.

b.         Tugas-tugas Mediator
1)      Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk  dibahas dan disepakati.
2)      Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3)      Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
4)       Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

2.3 Perkembangan Penggunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan
 (ADR) Di Indonesia

Istilah alternatif penyelesaian sengketa (ADR) relatif baru dikenal di Negara kita, Negara Indonesia.  ADR mempunyai daya Tarik khusus di indonesia kerena keserasiannya dengan system sosial, budaya, dan tradisional yang berdasarkan musyawarah mufakat. Hukum adat berupa musyawarah mufakat, di indonesia sudah bisa dilakukan oleh warga pedesaan untuk menyelesaikan suatu perselisihan.  Hanya saja istilah yang digunakan berbeda. jika istilah yang digunakan dalam hukum adat  adalah musyawarah untuk mufakat, maka untuk sekarang ini, istilah tersebut adalah alternative penyelesaian sengketa diluar peradilan yang berupa mediasi, konsoliasi, arbitrase, negosiasi, dan lain-lain.
Perkembangan penyelesaian sengketa dengan menggunakan alternative penyelesaian sengketa (ADR) mulai Nampak dan semakin dikenal oleh masyarakat indonesia. Ada beberapa contoh kasus sengketa khusus perdata (tanah, warisan, perkawinan, dll) yang diselesaikan di luar peradilan melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase, seperti :
1.      Kasus kecelakaan mahasiswa-mahasiswi PTN-PTS di ujung pandang dimana penyelesaian kasus sengketanya dilakukan melalui negosiasi.
2.      Sengketa ganti rugi untuk pembangunan kampus baru Universitas Hasanudin di km 10 Tamalanrea yang diselesaikan melalui mediasi.
3.      Penyelesaian kasus sengketa perkelahian memperebutkan air irigasi di kelurahan Tanru Tegong melalui arbitrase.
Selain kasus-kasus diatas, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam satu dekade sudah cukup banyak menyelesaikan sengketa sebagian besar sengketa bisnis, Adapun beberapa contoh perjanjian yang telah diselesaikan melalui penyelesaian sengketa melalui BANI seperti ;
1.      Perjanjian pinjam meminjam antara suatu perusahaan di Swiss kepada peminjamnya perusahaan di indonesia.
2.      Dalam transaksi di bidang minyak dan gas bumi dapat dijumpai beberapa macam klausula yang menyatakan penyelesaian sengketa melaluin BANI.
3.      Perjanjian antara PT Telkom dan salah satu perusahaan swasta.[4]
4.      Kasus-kasus lingkungan seperti: kasus tapak semarang barat, kasus sungai siak riau, kasus tembok dukuh Surabaya , kasus sungai sambong pekalongan, dan kasus sibalec sleman, daerah istimewa Yogyakarta (1991-1994).

2.4  Biaya Mediasi
           Biaya mediasi di PMN terdiri atas biaya pendaftaran, biaya jasa mediator, biaya tempat, dan biaya lainya yang dibutuhkan untuk proses mediasi. Seluruh biaya dibebankan kepada para pihak secara proses kecuali ditentukan lain berdasarkan kesepakatan para pihak. Disebutkan bahwa biaya pendaftaran sebesar Rp… sebagai provit atas jasa administrasi dan penunjang.
Jasa mediator ditetapkan oleh masing-masing mediator yang besarnya bervariasi, tergantung pada pengalaman dan keahlian secara lumpsum per jam yang dicadangkan minimum untukjam pertama pertemuan mediasi. PMN akan mengembalikan sisa dari dana yang tidak terpakai.
           Biaya tempat dibebankan jika pertemuan dilakukan ditempat-tempat yang harus membayar. Biaya lainya termasuk dan tidak terbatas pada biaya transportasi, biaya fiscal, uang saku, dan biaya penginapan bagi mediator bila pertemuan mediasi dilakukan di luar kota dimana mediator menetap. Besarnya biaya lainya ditentukan oleh PMN.
Catatan : pembayaran biaya pendaftaran dan jasa mediasi untuk jam pertama dilakukan setelah penandatanganan kesepakatan untuk mediasi (sebelum pertemuan mediasi dilangsungkan). Sebelum dana yang dicadangkan untuk pertemuan mediasi habis dipakai, para pihak harus menyetorkan kembali jasa mediasi untuk jam berikutnya.

3.1      Berakhirnya Mediasi
           Terdapat beberapa kemungkinan berakhirnya mediasi dengan konsekuensi sebagai berikut :
1)      Masing-masing pihak memiliki kebebasan setiap saat untuk mengakiri mediasi hanya dengan menyatakan menarik diri. Misalnya keharusan untuk mengeluarkan biaya atas segala sesuatu yang telah disetujui, selama berjalannya diskusi.
2)      Jika mediasi berjalan dengan sukses, para pihak menandatangani suatu dokumen yang menguraikan beberapa persyaratan penyelesaian sengketa. Kesepakatan penyelesaian tidak tertulis sangat tidak disarankan karena hal itu justru akan menimbulkan perselisihan baru.  Setelah mereka merasa puas karena telah berhasil membangun kembali hubungan baik atau mencapai kesepahaman yang memuaskan atas masalah-masalah yang disengketakan.
3)      Kadang-kadang jika mediasi tidak berhasil pada tahap pertama, para pihak mungkin setuju untuk menunda sementara. Selanjutnya jika mereka ingin meneruskan atau mengaktifkan kembali, hal tersebut akan memberi kesempatan terjadinya diskusi-diskusi baru, dan sebaiknya dilakukan pada titik dimana pembicaraanya ditunda.
Hal yang perlu dicatat dalam kaitanya dengan kegagalan mediasi adalah tentang kegagalan mediasi, yaitu apakah dilanjutkan ke arbitrase atau pengadilan? Untuk itu, terdapat 2 pilihan yang berbeda sebagai berikut :
1.      Berdasarkan UU No.30/1999,  jika upaya mediasi tidak dapat dicapai, para pihak berdasarkan  kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc (pasal 6 ayat 9 UU No. 30/1999).
2.      Berdasarkan perma No.02/2003, jika dalam waktu yang telah ditetapkan mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut pada hakim (di pengadilan negeri yang sedang mengenai perkara tersebut). Pasal 12 ayat 1 perma No. 02/2003.




Analisa

Menurut pemakalah, bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi)  yang paling banyak digunakan oleh para usahawan (bisnis) diindonesia untuk menyelesaikan perselisihan terutama dalam perjanjian kerja sama dengan orang asing adalah negoisasi, mediasi, dan arbitrase.  Melalui jalur  litigasi (pengadilan) sangat lambat, berbiaya mahal, tidak responsive, kemampuan hakim pun bersifat generalis atau menyeluruh.










BAB III
PENUTUP

Mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” atau penengahan, yaitu penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi. Sedangkan secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, “mediare” yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.

Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.  Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 tahun 1999.

            Untuk penyelesaian mediasi di pengadilan, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian. Dalam pasal 1 butir 1 perma No. 02/2003 disebutkan “ Akta perdamaian adalah dokumen kesepakatan yang merupakan hasil proses mediasi.”
Pada tahap akhir proses mediasi, biasanya mediator membantu para pihak untuk menyusun kesepakatan. Dalam membantu para pihak menyusun suatu persetujuan mediasi secara tertulis, mediator memfokuskan perhatian untuk lebih dulu menghasilkan draf.




DAFTAR PUSTAKA



Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta Sinar Grafika.
Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa : Suatu pengantar. Jakarta: Fikahati Aneka, 2002.
R.M. Gatot P. Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


[1] Bambang Sutiyoso, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Gama Media,Yogyakarta, hlm. 56.

[2] R.M. Gatot P. Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Laurance Boulle, op.cit., hlm.3.                                                                                                                        
[4] Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hlm 15
Felix OS dan Fatma Jatim, Arbitrase di indonesia, Ghaila Indonesia, Jakarta, 1995.

Comments