BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
adalah Negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa dan
bernegara membawa keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara, khususnya dalam bidang hukum acara perdata terkait dengan
penyelesaian sengketa perdata melalui perdamaian mediasi.
Untuk
tegaknya hukum perdata materiil, maka diperlukan Hukum Acara Perdata karena hukum
perdata materiil tidak mungkin berdiri sendiri lepas dari hukum acara perdata
(hukum perdata formil). Kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain. Hukum
materiil sebagaimana terjelma dalam undang–undang atau yang bersifat tidak
tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang
selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Akan tetapi sering
terjadi bahwa hukum materiil perdata itu dilanggar sehingga ada pihak yang
dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat.
Dalam hal ini maka hukum materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah
dipertahankan atau ditegakkan.
Untuk melaksanakan hukum materiil perdata
terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya
hukum materiil perdata dalam hal tuntutan hak diperlukan rangkaian
peraturan–peraturan hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri.
Peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. Dari
apa yang telah diuraikan diatas dapatlah dikatakan bahwa obyek daripada ilmu
pengetahuan hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan
perantaraan kekuasaan Negara. Perantaraan Negara dalam mempertahankan hukum
materiil perdata itu terjadi dengan peradilan. Yang dimaksudkan dengan
peradilan disini adalah pelaksanaan hukum dakam hal konkrit adanya tuntutan
hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan
oleh Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan
putusan yang bersifat mengikat.
Adanya
suatu proses perdamaian di Pengadilan seperti yang diatur dalam ketentuan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan PERMA
Prosedur Mediasi di Pengadilan) diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada
para pihak untuk berperan mengambil inisiatif, guna menyelesaikan sengketa yang
dibantu pihak ketiga sebagai mediator.PERMA Prosedur Mediasi di Pengadilan
tersebut menjadi standar umum bagi pedoman pelaksanaan mediasi yang
diintensifkan ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri. Mediasi
memiliki kedudukan penting dalam PERMA tersebut, karena proses mediasi merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari proses beperkara di pengadilan. Oleh karena
itu, pelaksanaan mediasi dengan hasil kesepakatan dan kegagalan yang dicapai
serta faktor penyebabnya menjadi bahan pertimbangan utama untuk menilai tingkat
efektifitasnya.
B.
Rumusan
Masalah
a. Apa
definisi dari Mediasi?
b. Apa manfaat / keuntungan mediasi dalam penyelesaian sengketa ?
c. Proses
Mediasi ?
d. Tahap-tahap
Mediasi
e. Peranan
Mediator Dalam Proses Mediasi ?
f. Perkembangan
penggunaan alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan (ADR) di
Indonesia ?
g. Berakhirnya
Mediasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Definisi
Mediasi
Mediasi
berasal dari bahasa Inggris “mediation”
atau penengah, yaitu penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak netral sebagai
penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi. Sedangkan secara
etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, “mediare” yang berarti
berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga
sebagai mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak
yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Mediasi
sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sudah
lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup, perburuhan pertanahan,
perumahan, dan sebagainya yang merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas
penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan efisien.
menurut Laurence
Bolle, Mediasi adalah proses pengambilan keputusan di mana pihak dibantu
oleh mediator dalam hal ini upaya mediator untuk meningkatkan proses
pengambilan keputusan dan untuk membantu para pihak mencapai hasil yang mereka
inginkan bersama.
Garry Goopaster mengemukakan pengertian mediasi, Mediasi ialah suatu proses negosiasi
pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial)
bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka
memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.
Secara umum mediasi dapat diartikan upaya penyelesaian
sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap
netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi
menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana
keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
Dalam
Perma No. 02/ 2003, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 6, yaitu: Mediasi adalah penyelesaian sengkete
melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan
dalam ketentuan pasal 6 ayat (3), pasal
6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Berdasarkan
uraian diatas, mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk
memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusukan perbedaan-perbedaan
mereka secara pribadi dengan bantuan pihak netral. Tugas pihak netral tersebut
adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainya sehubungan dengan
masalah-masalah yang di sengketakan.
1.2
Manfaat
/ Keuntungan Mediasi dalam penyelesaian sengketa
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para
pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat
mediasi sangat dirasakan. Bahkan dalam mediasi yang gagal, meskipun belum ada
penyelesaian yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung telah
mampu mengklarifikasi persoalan dan mempersempit perselisihan. beberapa
keuntungan penyelesaian sebagai berikut :
1. Mediasi
diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relative murah
dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan.
2. Mediasi
akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada
kebutuhan emosi atau psikologi mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.
3. Mediasi
memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara
informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4. Mediasi
memberi para pihak kemampuan untuk melakukan control terhadap proses dan
hasilnya.
5. Mediasi
dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi,
dengan suatu kepastian melalui consensus.
6. Mediasi
memberi hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang
lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang
memutuskannya.
1.3
Proses Mediasi
Mediasi pada umumya dilakukan melalui suatu proses
suka rela, atau mungkin didasarkan pada perjanjian atau pelaksanaan kewajiban
(peraturan) atau perintah pengadilan. Untuk proses mediasi di pengadilan,
ketentuan dalam pasal 7 Perma No.02/2003 mengatakan bahwa Mediator dan para
pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam
peraturan Mahkamah Agung.
Namun
demikian, dengan cara apapun pembentukan mediasi telah dilakukan, apabila
mediasi telah diterima, maka seluruh proses mediasi harus dilakukan secara suka
rela sampai berakhirnya mediasi. Demikian pula, proses mediasi melalui
pengadilan atau di luar pengadilan dilakukan secara rahasia (tertutup).
Masalah kerahasiaan proses mediasi
di pengadilan secara tegas dinyatakan dalam perma No. 02/2003, pasal 14 Ayat 1
yaitu: proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali
para pihak menghendaki lain. Tetapi proses mediasi untuk sengketa publik, yaitu
sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen,
pertahanan, dan perburuhan (yang melibatkan kepentingan banyak buruh), terbuka
untuk umum.
a.
Tahap
Mediasi
Mediasi yang sukses biasanya menghasilkan sebuah
perjanjian penyelesaian sengketa. Setelah ditandatangani, hasil mediasi
tersebut mengikat dan dapat dipaksakan sebagaimana layaknya sebuah kontrak atau
perjanjian.
Dalam
perma No. 02/2003 disebutkan bahwa “jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai dan di tandatangani oleh para pihak. Kesepakatan wajib memuat klausul
pencabutan perkara atau pernyataan perkara yang telah selesai” (pasal 11 ayat 1
dan 2).
Demikian
pula, pasal 6 ayat 6 UU No.30/1999 yang berkaitan dengan hasil mediasi dalam
bentuk tertulis secara tegas menyebutkan “Usaha penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui mediator, dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai
kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang
terkait. Jika mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, terdapat kewajiban untuk
mendaftar kesepakatan tertulis di pengadilan negeri dalam waktu 30 hari sejak
penandatanganan (psl 6 ayat 7 UU No. 30/1999).
Untuk penyelesaian mediasi di pengadilan, hakim dapat
mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian. Dalam pasal 1 butir 1
perma No. 02/2003 disebutkan “ Akta perdamaian adalah dokumen kesepakatan yang
merupakan hasil proses mediasi.”
Pada
tahap akhir proses mediasi, biasanya mediator membantu para pihak untuk
menyusun kesepakatan. Dalam membantu
para pihak menyusun suatu persetujuan mediasi secara tertulis, mediator
memfokuskan perhatian untuk lebih dulu menghasilkan draf. Mediator harus
meyakini bahwa para pihak telah memahami sepenuhnya draf perjanjian. Perlunya
penyusunan draf perjanjian diakomodasi dalam pasal 11 ayat 3 Perma No. 02/2003
bahwa “Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa
materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan
dengan hukum.
2.2 Peranan Mediator Dalam Proses
Mediasi
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak
dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri
penting dari mediator adalah :
1.
netral
2.
membantu para pihak
3.
tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Dalam PP No.54/2000 ditentukan kriteria untuk menjadi
mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
di luar pengadilan, yaitu :
a) Cakap melakukan tindakan hukum.
b) Berumur paling rendah 30 th.
c) Memiliki pengalaman serta menguasai
secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 th.
d) Memiliki keterampilan untuk melakukan
perundingan atau penengahan.
a. Peranan Mediator
Mediator
diharapkan mampu melaksanakan perananya untuk menganalisis dan mendiagnosis
suatu sengketa tertentu. Ia menjadi katalisator untuk mendorong lahirnya
suasana yang konstruktif bagi diskusi.
Dalam praktik, beberapa peranan penting yang harus dilakukan mediator antara
lain :
1. Melakukan diagnosis konflik
2. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan
kritis para pihak.
3. Menyusun agenda, memperlancar dan
mengendalikan komunikasi.
b. Tugas-tugas Mediator
1) Mediator
wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
2) Mediator
wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3) Apabila
dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama
proses mediasi berlangsung.
4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk
menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
2.3
Perkembangan Penggunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan
(ADR) Di Indonesia
Istilah alternatif penyelesaian sengketa
(ADR) relatif baru dikenal di Negara kita, Negara Indonesia. ADR mempunyai daya Tarik khusus di indonesia
kerena keserasiannya dengan system sosial, budaya, dan tradisional yang
berdasarkan musyawarah mufakat. Hukum adat berupa musyawarah mufakat, di
indonesia sudah bisa dilakukan oleh warga pedesaan untuk menyelesaikan suatu
perselisihan. Hanya saja istilah yang
digunakan berbeda. jika istilah yang digunakan dalam hukum adat adalah musyawarah untuk mufakat, maka untuk
sekarang ini, istilah tersebut adalah alternative penyelesaian sengketa diluar
peradilan yang berupa mediasi, konsoliasi, arbitrase, negosiasi, dan lain-lain.
Perkembangan penyelesaian
sengketa dengan menggunakan alternative penyelesaian sengketa (ADR) mulai
Nampak dan semakin dikenal oleh masyarakat indonesia. Ada beberapa contoh kasus
sengketa khusus perdata (tanah, warisan, perkawinan, dll) yang diselesaikan di
luar peradilan melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase, seperti :
1. Kasus
kecelakaan mahasiswa-mahasiswi PTN-PTS di ujung pandang dimana penyelesaian
kasus sengketanya dilakukan melalui negosiasi.
2. Sengketa
ganti rugi untuk pembangunan kampus baru Universitas Hasanudin di km 10
Tamalanrea yang diselesaikan melalui mediasi.
3. Penyelesaian
kasus sengketa perkelahian memperebutkan air irigasi di kelurahan Tanru Tegong
melalui arbitrase.
Selain
kasus-kasus diatas, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam satu dekade
sudah cukup banyak menyelesaikan sengketa sebagian besar sengketa bisnis,
Adapun beberapa contoh perjanjian yang telah diselesaikan melalui penyelesaian
sengketa melalui BANI seperti ;
1. Perjanjian
pinjam meminjam antara suatu perusahaan di Swiss kepada peminjamnya perusahaan
di indonesia.
2. Dalam
transaksi di bidang minyak dan gas bumi dapat dijumpai beberapa macam klausula
yang menyatakan penyelesaian sengketa melaluin BANI.
3. Perjanjian
antara PT Telkom dan salah satu perusahaan swasta.
4. Kasus-kasus
lingkungan seperti: kasus tapak semarang barat, kasus sungai siak riau, kasus
tembok dukuh Surabaya , kasus sungai sambong pekalongan, dan kasus sibalec
sleman, daerah istimewa Yogyakarta (1991-1994).
2.4 Biaya Mediasi
Biaya mediasi di
PMN terdiri atas biaya pendaftaran, biaya jasa mediator, biaya tempat, dan
biaya lainya yang dibutuhkan untuk proses mediasi. Seluruh biaya dibebankan
kepada para pihak secara proses kecuali ditentukan lain berdasarkan kesepakatan
para pihak. Disebutkan bahwa biaya pendaftaran sebesar Rp… sebagai provit atas
jasa administrasi dan penunjang.
Jasa mediator ditetapkan
oleh masing-masing mediator yang besarnya bervariasi, tergantung pada
pengalaman dan keahlian secara lumpsum per jam yang dicadangkan minimum
untukjam pertama pertemuan mediasi. PMN akan mengembalikan sisa dari dana yang
tidak terpakai.
Biaya tempat dibebankan jika pertemuan dilakukan
ditempat-tempat yang harus membayar. Biaya lainya termasuk dan tidak terbatas
pada biaya transportasi, biaya fiscal, uang saku, dan biaya penginapan bagi
mediator bila pertemuan mediasi dilakukan di luar kota dimana mediator menetap.
Besarnya biaya lainya ditentukan oleh PMN.
Catatan : pembayaran
biaya pendaftaran dan jasa mediasi untuk jam pertama dilakukan setelah
penandatanganan kesepakatan untuk mediasi (sebelum pertemuan mediasi
dilangsungkan). Sebelum dana yang dicadangkan untuk pertemuan mediasi habis
dipakai, para pihak harus menyetorkan kembali jasa mediasi untuk jam
berikutnya.
3.1 Berakhirnya
Mediasi
Terdapat beberapa kemungkinan berakhirnya mediasi dengan
konsekuensi sebagai berikut :
1) Masing-masing
pihak memiliki kebebasan setiap saat untuk mengakiri mediasi hanya dengan
menyatakan menarik diri. Misalnya keharusan untuk mengeluarkan biaya atas
segala sesuatu yang telah disetujui, selama berjalannya diskusi.
2) Jika
mediasi berjalan dengan sukses, para pihak menandatangani suatu dokumen yang
menguraikan beberapa persyaratan penyelesaian sengketa. Kesepakatan
penyelesaian tidak tertulis sangat tidak disarankan karena hal itu justru akan
menimbulkan perselisihan baru. Setelah
mereka merasa puas karena telah berhasil membangun kembali hubungan baik atau
mencapai kesepahaman yang memuaskan atas masalah-masalah yang disengketakan.
3) Kadang-kadang
jika mediasi tidak berhasil pada tahap pertama, para pihak mungkin setuju untuk
menunda sementara. Selanjutnya jika mereka ingin meneruskan atau mengaktifkan
kembali, hal tersebut akan memberi kesempatan terjadinya diskusi-diskusi baru,
dan sebaiknya dilakukan pada titik dimana pembicaraanya ditunda.
Hal
yang perlu dicatat dalam kaitanya dengan kegagalan mediasi adalah tentang
kegagalan mediasi, yaitu apakah dilanjutkan ke arbitrase atau pengadilan? Untuk
itu, terdapat 2 pilihan yang berbeda sebagai berikut :
1. Berdasarkan
UU No.30/1999, jika upaya mediasi tidak
dapat dicapai, para pihak berdasarkan kesepakatan
secara tertulis dapat mengajukan upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase
atau arbitrase ad hoc (pasal 6 ayat 9 UU No. 30/1999).
2. Berdasarkan
perma No.02/2003, jika dalam waktu yang telah ditetapkan mediasi tidak
menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa
proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut pada hakim (di
pengadilan negeri yang sedang mengenai perkara tersebut). Pasal 12 ayat 1 perma
No. 02/2003.
Analisa
Menurut pemakalah,
bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi) yang paling banyak digunakan oleh para
usahawan (bisnis) diindonesia untuk menyelesaikan perselisihan terutama dalam
perjanjian kerja sama dengan orang asing adalah negoisasi, mediasi, dan
arbitrase. Melalui jalur litigasi (pengadilan) sangat lambat, berbiaya
mahal, tidak responsive, kemampuan hakim pun bersifat generalis atau menyeluruh.
BAB
III
PENUTUP
Mediasi
berasal dari bahasa Inggris “mediation” atau penengahan, yaitu
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian
sengketa secara menengahi. Sedangkan secara etimologi, istilah mediasi berasal
dari bahasa Latin, “mediare” yang berarti berada di tengah. Makna ini
menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator harus berada
pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator
harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan
sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang
bersengketa.
Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008. Mediasi merupakan
salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat
memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang
memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat
(3), pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketentuan mengenai
mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya
negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) UU
Nomor 30 tahun 1999.
Untuk penyelesaian mediasi di
pengadilan, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Dalam pasal 1 butir 1 perma No. 02/2003 disebutkan “ Akta perdamaian adalah
dokumen kesepakatan yang merupakan hasil proses mediasi.”
Pada
tahap akhir proses mediasi, biasanya mediator membantu para pihak untuk
menyusun kesepakatan. Dalam membantu para pihak menyusun suatu persetujuan
mediasi secara tertulis, mediator memfokuskan perhatian untuk lebih dulu
menghasilkan draf.
DAFTAR
PUSTAKA
Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.
Jakarta Sinar Grafika.
Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase). Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa :
Suatu pengantar. Jakarta: Fikahati Aneka, 2002.
R.M. Gatot P. Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Comments
Post a Comment