PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN
hukum Islam
merupakan suatu pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari
perhatian ulama serta pakar hukum Islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam
bahasan ushul fiqh, dan ulama lain membahasnya sebagai materi tersendiri serta
diperluas dalam filsafat hukum Islam. Bila diteliti semua perintah dan larangan
Allah dalam Al-Qur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah
yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan
tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam,
yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam
beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat Al-Anbiya' :107, tentang
tujuan Nabi Muhammad diutus. Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat tersebut
diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu
dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat.
Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan
memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung
kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau
dengan jalan rasionalisasi.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian Hukum Islama ?
2. Apa
Saja Landasan Hukum Islam ?
3. Dan
Bagaimana Maksud dari Maqosid syariah ?
C. TUJUAN
MAKALAH
1. Supaya
mahasiswa tau dan bisa berfikir kritis tentang Hukum Islam.
2. Agar
mengetahui landasan hokum islam yang notabeninya tidak berasal dari satu
landasan,melainkan ada bberapa landsan dalam hokum islam.
3. Supaya
Mahasiswa mengetahui maksud dan tujuannya hkum islam di terapkan
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Hukum Islam
Dalam memandang mengenai suatu hal tertentu masing-masing
keyakinan yang ada memiliki suatu paradigma yang tentunya sangat berbeda-beda.
Terutama Islam yang menjalani hidupnya berpedoman pada Al-Qur’an.
Dalam
Islam tentu saja hukum yang berlaku bersumber pada agama Islam yang tentunya
berpedoman teguh pada Al-Qur’an. Dalam hal ini berarti hukum islam
merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan Allah S.W.T yang baik atau
buruknya, yang dilarang maupun yang harus dijalankan oleh seorang muslim.
Dalam hal mendefinisikan sesuatu seseorang
tentu memiliki pendapat atau asumsi yang berbeda. Hal ini tak jauh beda dengan
definisi yang disampaikan oleh para ulama mengenai hukum Islam.
Ulama Ushul berpendapat bahwa hukum islam
merupakan tata cara hidup mengenai doktrin syariat dengan perbuatan yang
diperintahkan maupun yang dilarang. Pendapat tersebut jauh berbeda dengan
apa yang disampaikan oleh ulama fiqih, yang mengatakan bahwa hukum Islam
merupakan segala perbuatan yang harus dkerjakan menurut syariat Islam.
Sedangkan Hasby A. S menyatakan dalam
pendapatnya mengenai hukum Islam ialah segala daya upaya yang dilakuakan oleh
seoarang muslim dengan mengikutsertakan sebuah syariat Islam yang
ada. Dalam hal ini Hasby juga menjelaskan bahwasannya hukum Islam akan
tetap hidup sesuai dengan undang-undang yang ada.
Tujuan akhir dari hukum Islam sebenarnya ialah
mewujudkan kemaslahatan pada manusia itu sendiri. Oleh karenanya fungsi dari
Hukum Islam dapat berupa :
1.
Fungsi Social engineering, yang artinya suatu
aturan yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan untuk kemajuan umat.Agar dapat
terealisasiakan perlu dilakukannya proses siyasah syariyyah, dengan qanun dan
undang-undang yang ada.
2. perubahan
menuju arah progres.
Allah S.W.T menurunkan agama Islam dengan tujuan yang tak lain
lagi agar terwujudnya kemaslahatan manusia, begitu juga dengan hukum Islam.
Menurut Abu Zahroh Hukum Islam memiliki tujuan sebagai berikut:
1.
menjadikan manusia yang bijaksana dan penuh
kebajikan dalam menjalankan kehidupan serta bermanfaat bagi orang lain.
2.
menegakkan suatu keadilan dari intenal maupun
eksternal. karena agama Islam tidak ppernah membedakan manusia dari segi suku,
agama, keturunan. kecuali tingkat taqwa pada-NYA
3.
mewujudkan kemaslahatan yang baik dan menjauhi
hawa nafsu yang dapat menjadikan suatu kerugian untuk dirisendiri dan orang
lain.
agar dapat memahami hukum Islam lebih jauh,
perlu diketaahui karakteristik hukum Islam. Adapun karakteristik hukum Islam
meliputi:
1.
Dasar dari hukum Islam ialah Wahyu ilahi
2.
Hukum Islam bersifat komprehensif
3.
hal yang selalu ditekankan dalam hukum Islam
ialah moral dan akhlak yang baik dan berkulitas
4.
orientasi koletif
5.
dalam hukum Islam yang dibicarakan ialah haram
dan halalnya dari segi manapun
6.
hukum Islam memiliki dan memberikan sanksi
pada pelanggar hukum Islam. Sanksi tersebut berupa sanksi di dunia dan di
akhirat
Hukum Islam Memiliki arti yang berbeda beda tergantung
dari kacamata sang penafsi,namun tujuan hukum islam tetap sama demi menciptakan
kemaslahatan bersama.
B.Landasan
Hukum Islam
Suatau bila
tidak tidak ada acuan yang pasti
ibarat anai-anai yang keluar dari sarangnya dan terbang tanpa tau arah dan tuanya sedangkan bahaya sudah menanti
mereka.
Di dalam Hukum islam ada 4 landasan yang wajib
di ikuti oleh umat islam yang sepaham,yaitu:
a)
Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada
Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan
hujjah (argumentasi) dalam hal
pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi
seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak
semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah.
Jadi apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai
Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah
berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi
realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak
segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan
karangan Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an
tetap menjadi mu’jizat sekaligus
sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai
sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya
merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam
Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i
dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi
telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan
mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah
satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah
bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah
SWT berfirman:
“Katakanlah:
Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang
serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS.
Al-Israa: 88)
b)
Sunnah adalah
perkataan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah saw terhadap sesuatu hal atau perbuatan
seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang
nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal
dari wahyu. Firman Allah SWT:
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى(3)إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“(Dan) Tiadalah
yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Makna
ayat di atas bahwanya apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur’an dan
As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun
kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:
قُل ...إِنْ أَتَّبِعُ
إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ
“(Katakanlah
Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”
(QS.
Al-An’am 50)
Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan
suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia
mengikuti apa yang disampaikannya.
Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari
Al-Qur’an, Rasulullah saw juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang
pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun
ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat
ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini
bahwa kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya; sebagaimana
Al-Qur’an itu sendiri.
c)
IJma’ Shahabat
Lafadz
ijma’ menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten
tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara.
Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh,
ijma’ adalah kesepakatan terhadap
suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam
hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber
hukum atau dalil syar’i. Ada yang
mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa,
atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul halli wal aqdi, ijma’ shahabat atau sebagainya.
Untuk
menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang
‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima
sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini
adalah Ijma’ para Shahabat.
Alasan kenapa yang di gunakan ijma’ shahabat, Dari
segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui
ijma’ dan dapat mengkoreksi bila
diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat,
tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah
ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk
di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut? Benarkah semua ‘ulama’
tadi mengetahui dan menyetujui ijma’
tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi sampai ia meninggal? Dan
mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul
bersama membahas suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab
selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya
sebuah ijma’ oleh suatu kelompok.
Karena ketidakmungkinan itulah, Imam Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa
suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan mampu terwujud ijma’ setelah masa shahabat. Dan karena
ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’;
artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa terhadap suatu masalah.
Jumhur berbeda dengan ijma’.
Banyaknya
pujian kepada para Shahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an
maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti tercantum
dalam QS. Al-Fath: 29, QS. At-Taubah: 100, QS. Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda
Rasulullah saw:
“Sesungguhnya
aku telah memilih para shahabat-ku atas segenap makhluk, selain para nabi.”
(HR
Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain)
“Para
shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti,
maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr)
Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat
menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai
suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat
atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka.
Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.
d)
QIAS
Menurut
para ulama ushul, qiyas berarti
menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya,
karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya.
Alasan di perbolehkan qias yaitu Qiyas digunakan
sebagai sumber dalil syar’i
karena dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki
kesamaan illat. Sebagaimana diketahui
bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada
hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.
Maka bila illat
yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut
adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat
yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’
Shahabat maka yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut.
Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai
dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas:
“Seorang wanita kepada
Rasulullah dan berkata: ‘Ya
Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar,
apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya,
apakah kamu akan membayar hutangnya?’
Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw: ‘Maka
puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”
Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban
menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’
Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu
harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.”
Dalam dua hadits
tersebut Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji,
dengan hutang, yang sama-sama harus dipenuhi.
D. MAKSUD DARI
MAQOSID SYARIAH
Syariat Islam adalah
peraturan hidup yang datang dari Allah ta’ala, ia adalah pedoman hidup bagi
seluruh umat manusia. Sebagai pedoman hidup ia memiliki tujuan utama yang dapat
diterima oleh seluruh umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat Islam adalah
untuk kebaikan seluruh umat manusia. Dalam ruang lingkup ushul fiqh tujuan ini
disebut dengan maqashid as-syari’ah yaitu maksud dan tujuan
diturunkannya syariat Islam.Secarabahasa maqashisyari’ah terdiridariduakatayaitumaqashid dan syari’ah.
Maqashid berartikesengajaanatautujuan,maqashid merupakanbentuk jama’ dari maqsud
Angberasaldarisukukata Qashada yangberartimenghendakiatau
memaksudkan.Maqashid berartihal-hal yang dikehendaki dan
dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air,
jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Di dalam Alqur’an Allah ta’ala menyebutkan beberapa kata“syari’ah” diantaranya
adalah:
Kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. QS. Al-Jatsiyah: 18.
Dia telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. QS. Asy-Syuura: 13.
Dari dua ayat di atas
bisa disimpulkan bahwa “syariat” sama dengan “agama”, namun dalam perkembangan
sekarang terjadi reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk
dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang
dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut
al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh
Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan,
dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh
kehidupan.
Maqashid Syariah secara istilah
adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam
Asy-Syathibi mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti
ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
Sesungguhnya syariat itu
ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia
dan Akhirat”.
Pada bagian lainnya
beliau menyebutkan:
Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan
hamba.
Al- Syatibi tidak
mendefinisikan Maqashid Syariah yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi
meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan
pensyariatan hukum Islam, berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani
misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu
bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan
syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau
akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Mengapa An-Nabhani
mengatakan hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena menurut ia nash ayat-ayat yang
ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan
adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan
adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya
firman Allah ta’ala:
Dan Kami turunkan dari
Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman
dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain
kerugian. QS. Al-Isra: 82.
Dan Tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. QS.
Al-Anbiyaa: 107.
Menurut An-Nabhani, ayat
ini tidak mengandung shighat ta‘lil(bentuk kata yang
menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lil.
Jadi maksud ayat ini, bahwa hasil (al-natijah) diutusnya Muhammad Shalallahu
Alaihi Wassalam adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya,
adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat,
bukan ‘illat dari penetapan syariat.
Berdasarkan penjelasan
sebelumnya maka Maqashid Syari’ahadalah maksud dan tujuan
disyariatkannya hukum Islam. Beberapa Ulama mendefinisikan Maqashid
Syariah sebagai berikut:
aqashid Syari’ah secara Umum adalah:kemaslahatan bagi
Manusia dengan memeliharaebutuhandharuriatmerekadanmenyempurnakan kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.
Kesimpulannya
bahwa Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui hikmah
(nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan
Hadits). yang ditetapkan oleh Allah ta’ala terhadap manusia adapun tujuan akhir
hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia baik di dunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah
dan Ibadah). Sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus
memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan
kebutuhan Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat ataukamaliat (tersier).
Secara umum tujuan
syariat Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia
seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun kemashlahatan di akhirat. Hal ini
berdasarkan Firman Allah ta’ala:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ
إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. QS.
Al-Anbiya: 107.
Dalam ayat yang lainnya
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ
رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى ٱلدُّنْيَا حَسَنَةًۭ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ حَسَنَةًۭ وَقِنَا
عَذَابَ ٱلنَّارِ
Dan di antara mereka ada
orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” QS. Al-Baqarah: 201-202
أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ
نَصِيبٌۭ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Mereka Itulah
orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah
sangat cepat perhitungan-Nya.
Ayat 201 surat
Al-Baqarah dan seterusnya di atas memuji orang yang berdoa untuk mendapat
kebahagiaan di dunia dan di akhirat , dimaksudkan sebagai contoh teladan bagi
kaum muslimin.
Apabila dipelajari
secara seksama ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Al-Quran
dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahui tujuan hukum
Islam. Sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain, tujuan
hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani,
individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan dunia ini
saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq
al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni:
1. Hifdz
Ad-Din (Memelihara Agama)
2. Hifdz
An-Nafs (Memelihara Jiwa)
3. Hifdz
Al’Aql (Memelihara Akal)
4. Hifdz
An-Nasb (Memelihara Keturunan)
5. Hifdz
Al-Maal (Memelihara Harta)
Kelima tujuan hukum
Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al khamsah atau
al-maqasid al- shari’ah.
Tujuan hukum Islam
tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni (1) segi Pembuat Hukum Islam yaitu
Allah dan Rasul-Nya. Dan (2) segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana
hukum Islam itu. Jika dilihat dari pembuat hukum Islam tujuan hukum Islam itu
adalah: Untuk memelihara keperluan hidup manusia yang bersifat primer,
sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut
dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsniyyat. Kebutuhan primer
adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh
hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia bener-benar terwujud. Kebutuahan sekunder
adalah kebutuhan yang diperluakn untuk mencapai kehidupan primer, seperti
kemerdekaan, persamaan, dan sebagaianya, yang bersifat menunjang eksistensi
kebutuahan primer. Kebutuahn tersier adalah kebutuhan hidup manusia selain yang
bersifat primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk
kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, misalnya sandang, pangan, perumahan
dan lain-lain.
Tujuan hukum Islam
adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya
sehari-hari. Agar dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia
wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari
Ushul Fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai
metodologinya.
Di samping itu dari segi
pelaku hukum Islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk
mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Caranya adalah, dengan mengambil
yang bermanfaat, mencegah atau menolak yang mudarat bagi kehidupan. Dengan kata
lain tujuan hakiki hukum Isalm, jika dirumuskan secara umum, adalah tercapainya
keridaan Allah dalam kehidupan manusia di bumi ini dan di akhirat kelak.
a. Memelihara
Agama
Pemeliharan agama
merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan
pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah
yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan
sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan dengan Tuhannya maupun dalam
berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Karena itulah maka
hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin
kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.
Beragama merupakan
kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena
agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Allah memerintahkan kita untuk
tetap berusaha menegakkan agama, firmannya dalam surat Asy-Syura’: 13:
Dia Telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
b.
Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam
melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas
(pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang
sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang
dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh
itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
Mengenai hal ini dapat
kita jumpai dalam firman Allah Swt dalam QS Al-Baqarah ayat 178-179 yang
berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ
وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ
أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ
ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ
ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌۭ . وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌۭ يَٰٓأُو۟لِى
ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
b. Memelihara
akal
Manusia adalah makhluk
Allah ta’ala, ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama,
Allah S ta’ala telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik,
dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk lain. Hal
ini telah dijelaskan oleh Allah ta’ala sendiri dalam Al-Quran At-Tiin Ayat 4
berbunyi :
لَقَدْ خَلَقْنَا
ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ
Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Akan tetapi bentuk yang
indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua, yaitu akal. Oleh
karena itu Allah ta’ala melanjutkan Firman-Nya dalam surat At-Tiin ayat 5 dan 6
yang berbunyi :
ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ
أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ. إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟
ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍۢ
Kemudian kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.
Jadi, akal paling penting dalam pandangan Islam. Oleh
karena itu Allah ta’ala selalu memuji orang yang berakal. Hal ini dapat
dilihat pada firman Allah ta’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi :
إِنَّ فِى خَلْقِ
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ
ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ
ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍۢ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا
مِن كُلِّ دَآبَّةٍۢ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ
ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang
berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
d.
Memelihara Keturunan
Perlindungan Islam
terhadap keturunan adalah dengan mensyariatkannya pernikahan dan mengharamkan
zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara
perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga
perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang belainan
jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan
tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada
zina.
Sebagaimana firman Allah
ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟.
Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.S An-Nisa: 3-4.
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ
صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۭ ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍۢ مِّنْهُ نَفْسًۭا
فَكُلُوهُ هَنِيٓـًۭٔا مَّرِيٓـًۭٔا
Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
a. Memilihara
Harta Benda dan Kehormatan
Islam meyakini bahwa
semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk
memanfaatkannya saja. Meskipun demikian Islam juga mengakui hak pribadi
seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada harta benda, sehingga
mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan
sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai
menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada
orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh
anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang
peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap
harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن
تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Q.S. An-Nisa: 29-32.
وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ
عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى
ٱللَّهِ يَسِيرًا
Dan barangsiapa berbuat
demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke
dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
إِن تَجْتَنِبُوا۟
كَبَآئِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم
مُّدْخَلًۭا كَرِيمًۭا
Jika kamu menjauhi
dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya
kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan
kamu ke tempat yang mulia (surga).
وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا
فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا
ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَسْـَٔلُوا۟
ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًۭا
Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak
dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
BAB
III
PENUTUP
A.KESIPUMPULAN
B.DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir,al-munawir
kamus Arab,cet.14,Surabaya pustaka progressif,1997
Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da'wah alIslamiyah, 1968.
Amir Mu'alim dan Yusdani, Konfigurasi
Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001.
http//.wikipedia.com,disadur,selasa
10 mei 2016.jam 20.00.
Ghofar Shidiq,Teori Maqoshid Al-syari’ah
dalam Hukum islam,2009
Comments
Post a Comment