MUDHARABAH
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………….. 1
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
- Latar
Belakang…………………………………………………………… 1
- Rumusan
Masalah………………………………………………………… 2
BAB
II PEMBAHASAN………………………………………………………… 3
A. Definisi
Mudharabah……………………………………………………… 3
B. Jenis-Jenis
Mudharabah……………………………………………………..5
C. syarat
dan rukun mudharabah……………………………………………….7
D. Hukum
mudharabah…………………………………………………………8
BAB
III PENUTUP………………………………………………………………... 11
A. Kesimpulan……………………………………………………………….
12
B. Kritik
dan saran…………………………………………………………… 13
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………… 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Islam
mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena
sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada
juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola
dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa
saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian
Mudharib (pengelola) dan Mudharib memanfaatkan harta dan dengan demikian
terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad
kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Jelaskan definisi akad mudharabah!
2.
Jelaskan jenis-jenis mudharabah!
3.
Jelaskan syarat dan rukun mudharabah!
4.
Bagaimana hukum tentang mudharabah?
5. Bagaimana
cara Pemberhentian kontrak (akad) mudharabah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Mudharabah
Mudharabah
berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi,
yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya
dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di
jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.
20.
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang
dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian
pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan
ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat
menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu,
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran
dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah
pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu
niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling
baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Secara
teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara kedua belah pihak,
dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang
menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihaklainnya sebagai pengelola usaha
(mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, danbiasanya dalam bentuk nisbah
(persentase).
Seperti bagan di bawah ini:
Akad
mudharabah digunakan oleh bank untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan
permodalan bagi nasabah guna menjalankan usaha atau proyek dengan cara
melakukan penyertaan modal bagi usaha atau proyek yang bersangkutan.
Risky business,
usaha yang beresiko, akad kerja sama usaha antar pihak pemilik dana (shahib al maal) dan pihak pengelola dana
(mudharib). Dalam usaha ini,
keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung
pemilik dana (modal). Aplikasi dalam perbankan dari sisi penghimpunan dana
berbentuk tabungan dan deposito berjangka, sedangkan dari sisi pembiayaan
berbentuk pembiayaan modal kerja dan investasi. Istilah lain dari mudharabah adalah muqaradhah
dan qiradh.
Contoh
kasus
1. Contoh kasus perhitungan dalam bank syari’ah,
yaitu:
Bapak
Kevin mempunyai deposito Rp 10.000.000, dalam jangka waktu 1 bulan (1 Desember
2001 – 1 Januari 2002), dan nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank 57% :
43%. Jika keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito 1 bulan per 31 Desember
2001 adalah Rp 20.000.000 dan rata-rata deposito jangka waktu 1 bulan adalah Rp
950.000.000, berapakah keuntungan yang harus diperoleh oleh bapak Kevin?
Jawab:
Keuntungan yang diperoleh bapak Kevin adalah:
(Rp 10.000.000 : Rp 950.000.000) x Rp 20.000.000
x 57% = Rp 120.000
2 . Contoh kasus perhitungan dalam bank
kovensional, yaitu[14]:
Pada tanggal 1 Desember
2003, bapak rizal membuka deposito sebesar Rp 10.000.000, jangka waktu 1 bulan
dengan tingkat bunga 9% p.a. Berapa bunga yang diperoleh bapak rizal pada saat
jatuh tempo?
Jawab:
Bunga yang harus diperoleh bapak rizal adalah:
(Rp 10.000.000 x 31 hari x 9%) : 365 hari = Rp
76.438
Dari cotoh kasus dan Bagan di atas dapat
disimpulkan, bahwa:
a. Perhitungan pada bank syari’ah, besar kecilnya
pendapatan yang diperoleh deposan bergantung pada:
1) Pendapatan bank
2) Nisbah bagi hasil antara
nasabah dengan bank
3) Nominal deposito nasabah
4) Rata-rata deposito untuk
jangka waktu yang sama pada bank.
b. Sedangkan perhitungan pada bank konvensional,
besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposanbergantung pada:
1) Tingkat bunga yang
berlaku pada bank tersebut
2) Nominal deposito nasabah
3) Jangka waktu deposito.
Bank syari’ah pada
dasarnya member keuntungan kepada deposan dengan pendekatan Financing
to Deposit Ratio (FDR), sedangkan pada bank konvensional yaitu dengan
pendekatan biaya, yang artinya dalam mengakui pendapatan bank syari’ah masih
menimbang rasio antara dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan, serta
pendapatan yang dihasilkan dari perpaduan antara dua faktor tersebut. Sedangkan
dalam bank konvensional langsung menganggap semua bunga yang diberikan adalah
biaya, tanpa harus membertimbangkan berapakah pendapatan yang dapat dihasilkan
dari dana yang dihimpun tersebut,
Dalam pembiayaan mudharabah tujuan yang utama
adalah memperoleh keuntungan yang nantinya akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan yang biasa disebut dengan bagi hasil. Dimana, keuntungan adalah
jumlah yang didapat sebagai dari kelebihan modal. Keuntungan adalah tujuan
akhir dari mudharabah. Syarat keuntungan berikut harus dipenuhi:
a. Harus untuk kedua pihak
dan tidak ada satu pihak pun yang mengambil seluruhnya tanpa yang lainnya.
b. Bagian keuntungan
proporsional dari tiap pihak harus diketahui pada waktu berkontrak dan harus
sebagai presentasi dari keuntungan. Bagian pengelola harus sacara eksplisit
ditanyakan pada watu berkontrak. Tetapi harus diketahui bahwa dibolehkan untuk
menyesuaikan presentasi alokasi keuntungan diantara kedua pihak pada waktu
berikutnya.
c. Penyedia dana menanggung
semua kerugian akibat mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung bagian
apapun darinya kecuali diakibatkan dari kesalahan yang disengaja atau lalai.
B.
Jenis-Jenis
Mudharabah
Secara umum, Al Mudharabah dibagi menjadi
dua bagian, yakni Mudharabah Mutlaqah (bebas)
dan Mudharabah Muqoyyadhah (terikat).
- Mudharabah
Mutlaqah (bebas)
Yang
dimaksud dengan akad mudharabah mutlaqah yaitu akad kerja antara dua orang atau
lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib seaku
pengusaha yang berlaku secara luas. Artinya dalam akad tersebut tidak ada
batasan tertentu, baik dalam jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha maupun
yang lain. Intinya pengusaha memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan
usahanya, sesuai dengan peluang bisnis yang ada.
- Mudharabah
Muqoyyadah (terikat)
Yang
dimaksud dengan mudharabah muqoyyadah yaitu kerja sama dua orang atau lebih
atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib,
investor memberikan batasan tertentu baik dalam jenis usaha, waktu naupub
tempat. Persyaratan ini tidak boleh dilanggar oleh pengusaha. Mudharabah
mutlaqah berarti kebalikan dari mudharabah muqoyyadah.
C.
syarat dan rukun mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah harus
memenuhi persyaratan (Sayyid Sabiq, Fiqus Sunnah (terjemahan), Bandung Al
Maarif) sebagai berikut:
- Bahwa
modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan,
emas, perak atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh ibnu munzir, “semua orang yang ilmunya kami jaga/hafal
sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi
orang lain untuk suatu mudharabah. Namun jika modal itu berupa barangyang
akan diperdagangkan harus dihitung kedalam nilai uang.
- Bahwa
ia diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang
diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak
sesuai dengan kesepakatan, pada waktu akad.
- Keuntungan
yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor haru jelas nisbahnya
(prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabab dengan penduduk
khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Ibnu munzir berkata,
“semua yang ilmunya kami pelihara sepakat untuk membatalkan qiradh,
apabila salah satu pihak atau keduanya, menjadikan beberapa dirham
tertentu untuk dirinya”. Motif dari perlunya nisbah ini ialah untuk
menghindari kerugian tertantu dari pihak yang bermudharabah, jika yang
ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase, karena bias jadi
keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
- Menurut
maliki dan syafi’I, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik
modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk
menggunakannya dalam usha apa dan di mana, kapan dan dengan siapa harus
bermuamalah. Namun hambali dan hanafi, membolehkan mudharabah baik dengan
mutalk atau muqayyad. Baik denganpersyaratan tertentu maupun bebas. Dalam
mudharabah muqayyad, pengusaha tidak boleh menyimpang dari persyaratan
yang telah ditetapkan. Jika pengusaha tetap menyimpang, maka ia harus
menjamin dan menggantinya.
Rukun Mudharabah:
1. Pemilik
modal (shahibul mal)
2. Pemilik
usaha (mudharib)
3. Proyek
atau usaha (amal)
4. Modal
(ra’sul maal)
5. Ijab
qabul (sighat)
6. Nisab
bagi hasil.
D.
Hukum
mudharabah
Mudharabah
hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:
- Al-Qur’an:
Firman
Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di
antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang
di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
Dan
firman-Nya: “Hai orang yang beriman!
Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)
Firman
Allah: “Maka, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS.
Al-Baqarah: 283 dan QS. al-Ma’idah: 1)
- Al-Hadits:
Ibnu
Abbas ra meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika
menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib
(pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang
ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR.
Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111))
Shuhaib
ra berkata: Rasulullah bersabda: “Ada
tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga,
bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
- Ijma:
Para
ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya
Ibnu Rusyd (2/136))
Diriwayatkan,
sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai
mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma’. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah
Zuhaily, 4/838)
- Qiyas.
Transaksi
mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqat, yaitu bagihasil yang umum
dilakukan dilakukan dalamm bidang perkebunan.
- Kaidah
fiqih:
“Pada dasarnya, semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
2) Landasan hukum positif
Dasar hukum atas produk perbankan syariah
berupa tabungan dalam hukum positif Indonesia adalah UU no. 10 /1998 tentang
perubahan atas UU no. 7/1992 tentang perbankan. Disamping itu juga dapat kita
temukan dalam pasal 366 huruf a poin 2 PBI nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank
Umum Yng Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Intinya
menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinssip syariah dan prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi antara lain berupa tabungan
berdasarkan prinsip mudharabah.
E.
Pemberhentian
kontrak (akad) mudharabah
Prinsip
umumnya adalah mudharabah bukanlah kontrak (akad) yang mengikat dan
masing-masing pihak dapat memberhentikannya secara sepihak kecuali dalam kedua
kasus berikut:
1. Ketika
mudharib telah memulai bisnis, dimana kontraknya menjadi bersifat mengikat
hingga tanggal likuidasi actual atau konstruktif, dan
2. Ketika
pihak-pihak menyetujui durasi tertentu untuk kontra (akad), dimana ia tidak
dapat diberhentikan sebelum berakhirnya periode tersebut kecuali dengan
perjanjian bersama. Untuk pemberhentian, mudharib akan diberi waktu untuk
menjual asset yang tidak likuid sehingga jumlah keuntungan actual dapat
ditentukan.
(AAOIFI 2004-5a, standar mengenai mudharabah, klausul 10)
Kekuasaan tidak
terbatas untuk untuk memberhentikan mudharabah dapat menciptakan kesulitan
dalam konteks keadaan dewasa ini karena kebanyakan perusahaan komersial dewasa
ini memerlukanwaktu untuk memetik hasilnya. Bisnis modern juga menuuntut upaya
yang kompleksdan berkelanjutan. Oleh karenanya, jika semua pihak
menyetujui,ketika memasuki kontak (akad) mudharabah, bahwa tidakada pihak yang
dapat memberhentikannya selama periode tertentu, kecuali dalam kondisi
tertentu, ia tidak dapat dibilang melanggar prinsip Syariah mana pun, khususnya
bila mengingat hadis terkenal yang menyatakan: “semuanya persyaratan yang telah
disetujui oleh orang muslim akan dijunjung tinggi, kecuali persyaratan yang
memperbolehkan apa yang dilarang dan melarang apa yang diperbolehkan dalam
syariah. “
Jika semua aset Mudharabah sudah
menjadi bentuk kas pada saat pemberhentian, dan sebagian keuntungan telah
didapatkan dari jumlah modal tersebut, keuntungan tersebut akan didistribusikan
diantara pihak – pihak yang ada berdasarkan rasio yang telah disetujui bersama.
Akan tetapi, jika aset mudharabah masih belum dalam bentuk kas, mudarib akan
diberi kesempatan untuk menjual dan mencairkan aset tersebut sehingga keuntungn
aktualnya dapat ditentukan.
Mudharabah
terbatas secara otomatis berakhir setelah sasarannya tercapai. Jika mudharabah
bersifat umum, akan menjadi kepentingan dari kedua belah pihak untuk mengakhiri
kapan pun ketika kedua belah pihak telah menyetujui secara bersama – sama.
Kesulitan yang mungkin akan timbul adalah jika salah satu pihak ingin melanjutkan
bisnis. Rekonsiliasi pada tititk ini seharusnya dicari melalui pengadilan atau
upaya arbitrase lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mudharabah (loss and profit sharing)
Salah satu jenis
transaksi dimana pihak pemilik dana (shahibul
maal) dan pemilik tenaga (mudharib).
Penentuan pendapatan didasarkan atas kesepakatan nisbah bagi hasil antara
shahibul mal dengan mudharib.
Syarat-syarat:
Orang
yang terikat dalam akad cakap hokum, Syarat modal yang digunakan harus: a)
Berbentuk uang (bukan barang), b) Jelas jumlahnya, c) tunai (bukan berbentuk
hutang), d) Langsung diserahkan kepada mudharib, Pembagian keuntungan haus
jelas, dan sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Rukun mudharabah:
Pemilik
modal (shahibul mal), Pemilik usaha (mudharib), Proyek atau usaha (amal),
Modal (ra’sul maal), Ijab Qabul (sighat), Nisab bagi hasil.
Dasar
hukum dari akat mudharabah kita jumpai dalam Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Hukum Positif.
Mudharabah
terbatas secara otomatis berakhir setelah sasarannya tercapai.
B.
Kritik
dan Saran
Makalah
ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu diharapkan kritik dan saran
konstruktif dari pembaca yang budiman.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ivan Rahmawan A.
2005. Kamus istilah akutansi syari’ah.
Yogyakarta. Pilar Media.
·
Muhammad Ayub.
2007. Understanding Islamic finance a-z
keuangan syari’ah. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
·
Muhammad ridwan.2005. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
Yogyakarta. UII Press.
·
Ahmad Subagyo. 2009.
Kamus Istilah Ekonomi Islam. Jakarta.
PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
·
Dimyaudin
Djuwaini. 2010. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
·
Abddul Ghofur
Anshori. 2007. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Ahmad
Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2009) hal. 284-285
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII Press, 2005) hal.
Comments
Post a Comment