Pengertian Dana Talangan Haji

Pengertian Dana Talangan Haji Dana Talangan Haji adalah pinjaman dari Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna memperoleh kursi  haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Lembaga Keuangan Syariah ini menguruskan pembiayaan BPIH berikut berkas-berkasnya sampai nasabah tersebut mendapatkan kursi haji. Atas jasa pengurusan haji tersebut, Lembaga Keuangan Syariah memperoleh imbalan, yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Hukum Dana Talangan Haji Lembaga–lembaga Keuangan Syariah di dalam menerapkan Dana Talangan Haji merujuk kepada Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah).  Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), ...

MAKALAH MUDHARABAH



MUDHARABAH

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………..            1
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
  1. Latar Belakang……………………………………………………………    1
  2. Rumusan Masalah…………………………………………………………   2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………  3
A.    Definisi Mudharabah………………………………………………………  3
B.     Jenis-Jenis Mudharabah……………………………………………………..5
C.     syarat dan rukun mudharabah……………………………………………….7
D.    Hukum mudharabah…………………………………………………………8

BAB III PENUTUP………………………………………………………………...            11
A.    Kesimpulan……………………………………………………………….    12
B.     Kritik dan saran……………………………………………………………  13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………            13









BAB I
PENDAHULUAN
A.              LATAR BELAKANG
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudharib (pengelola) dan Mudharib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

B.               RUMUSAN MASALAH
1.              Jelaskan definisi akad mudharabah!
2.              Jelaskan jenis-jenis mudharabah!
3.              Jelaskan syarat dan rukun mudharabah!
4.              Bagaimana hukum tentang mudharabah?
5.      Bagaimana cara Pemberhentian kontrak (akad) mudharabah?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.
20. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara kedua belah pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihaklainnya sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang  dituangkan dalam kontrak, danbiasanya dalam bentuk nisbah (persentase).[1] Seperti bagan di bawah ini:
Akad mudharabah digunakan oleh bank untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan permodalan bagi nasabah guna menjalankan usaha atau proyek dengan cara melakukan penyertaan modal bagi usaha atau proyek yang bersangkutan.
Risky business, usaha yang beresiko, akad kerja sama usaha antar pihak pemilik dana (shahib al maal) dan pihak pengelola dana (mudharib). Dalam usaha ini, keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana (modal). Aplikasi dalam perbankan dari sisi penghimpunan dana berbentuk tabungan dan deposito berjangka, sedangkan dari sisi pembiayaan berbentuk pembiayaan modal kerja dan investasi. Istilah lain dari mudharabah adalah muqaradhah dan qiradh.[2]
Contoh kasus
1. Contoh kasus perhitungan dalam bank syari’ah, yaitu:
Bapak Kevin mempunyai deposito Rp 10.000.000, dalam jangka waktu 1 bulan (1 Desember 2001 – 1 Januari 2002), dan nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank 57% : 43%. Jika keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito 1 bulan per 31 Desember 2001 adalah Rp 20.000.000 dan rata-rata deposito jangka waktu 1 bulan adalah Rp 950.000.000, berapakah keuntungan yang harus diperoleh oleh bapak Kevin?
Jawab:
Keuntungan yang diperoleh bapak Kevin adalah:
(Rp 10.000.000 : Rp 950.000.000) x Rp 20.000.000 x 57% = Rp 120.000
2 . Contoh kasus perhitungan dalam bank kovensional, yaitu[14]:
Pada tanggal 1 Desember 2003, bapak rizal membuka deposito sebesar Rp 10.000.000, jangka waktu 1 bulan dengan tingkat bunga 9% p.a. Berapa bunga yang diperoleh bapak rizal pada saat jatuh tempo?
Jawab:
Bunga yang harus diperoleh bapak rizal adalah:
(Rp 10.000.000 x 31 hari x 9%) : 365 hari = Rp 76.438
Dari cotoh kasus dan Bagan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
a. Perhitungan pada bank syari’ah, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposan bergantung pada:
1) Pendapatan bank
2) Nisbah bagi hasil antara nasabah dengan bank
3) Nominal deposito nasabah
4) Rata-rata deposito untuk jangka waktu yang sama pada bank.
b. Sedangkan perhitungan pada bank konvensional, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposanbergantung pada:
1) Tingkat bunga yang berlaku pada bank tersebut
2) Nominal deposito nasabah
3) Jangka waktu deposito.
Bank syari’ah pada dasarnya member keuntungan kepada deposan dengan pendekatan Financing to Deposit Ratio (FDR), sedangkan pada bank konvensional yaitu dengan pendekatan biaya, yang artinya dalam mengakui pendapatan bank syari’ah masih menimbang rasio antara dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan, serta pendapatan yang dihasilkan dari perpaduan antara dua faktor tersebut. Sedangkan dalam bank konvensional langsung menganggap semua bunga yang diberikan adalah biaya, tanpa harus membertimbangkan berapakah pendapatan yang dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun tersebut,
Dalam pembiayaan mudharabah tujuan yang utama adalah memperoleh keuntungan yang nantinya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang biasa disebut dengan bagi hasil. Dimana, keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai dari kelebihan modal. Keuntungan adalah tujuan akhir dari mudharabah. Syarat keuntungan berikut harus dipenuhi:
a. Harus untuk kedua pihak dan tidak ada satu pihak pun yang mengambil seluruhnya tanpa yang lainnya.
b. Bagian keuntungan proporsional dari tiap pihak harus diketahui pada waktu berkontrak dan harus sebagai presentasi dari keuntungan. Bagian pengelola harus sacara eksplisit ditanyakan pada watu berkontrak. Tetapi harus diketahui bahwa dibolehkan untuk menyesuaikan presentasi alokasi keuntungan diantara kedua pihak pada waktu berikutnya.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung bagian apapun darinya kecuali diakibatkan dari kesalahan yang disengaja atau lalai.


B.     Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum, Al Mudharabah dibagi menjadi dua bagian, yakni Mudharabah Mutlaqah (bebas) dan Mudharabah Muqoyyadhah (terikat).[3]
  1. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Yang dimaksud dengan akad mudharabah mutlaqah yaitu akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib seaku pengusaha yang berlaku secara luas. Artinya dalam akad tersebut tidak ada batasan tertentu, baik dalam jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha maupun yang lain. Intinya pengusaha memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan usahanya, sesuai dengan peluang bisnis yang ada.
  1. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Yang dimaksud dengan mudharabah muqoyyadah yaitu kerja sama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam jenis usaha, waktu naupub tempat. Persyaratan ini tidak boleh dilanggar oleh pengusaha. Mudharabah mutlaqah berarti kebalikan dari mudharabah muqoyyadah.

C.     syarat dan rukun mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah harus memenuhi persyaratan (Sayyid Sabiq, Fiqus Sunnah (terjemahan), Bandung Al Maarif) sebagai berikut:
  1. Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan, emas, perak atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu munzir, “semua orang yang ilmunya kami jaga/hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah. Namun jika modal itu berupa barangyang akan diperdagangkan harus dihitung kedalam nilai uang.
  2. Bahwa ia diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan, pada waktu akad.
  3. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor haru jelas nisbahnya (prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabab dengan penduduk khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Ibnu munzir berkata, “semua yang ilmunya kami pelihara sepakat untuk membatalkan qiradh, apabila salah satu pihak atau keduanya, menjadikan beberapa dirham tertentu untuk dirinya”. Motif dari perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertantu dari pihak yang bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase, karena bias jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
  4. Menurut maliki dan syafi’I, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk menggunakannya dalam usha apa dan di mana, kapan dan dengan siapa harus bermuamalah. Namun hambali dan hanafi, membolehkan mudharabah baik dengan mutalk atau muqayyad. Baik denganpersyaratan tertentu maupun bebas. Dalam mudharabah muqayyad, pengusaha tidak boleh menyimpang dari persyaratan yang telah ditetapkan. Jika pengusaha tetap menyimpang, maka ia harus menjamin dan menggantinya.
Rukun Mudharabah:
1.      Pemilik modal (shahibul mal)
2.      Pemilik usaha (mudharib)
3.      Proyek atau usaha (amal)
4.      Modal (ra’sul maal)
5.      Ijab qabul (sighat)
6.      Nisab bagi hasil.

D.    Hukum mudharabah
Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:
1)      Landasan syariah[4]
  1. Al-Qur’an:
Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)
Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283 dan QS. al-Ma’idah: 1)
  1. Al-Hadits:
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111))
Shuhaib ra berkata: Rasulullah bersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
  1. Ijma:
Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136))
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily,  4/838)
  1. Qiyas.
Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqat, yaitu bagihasil yang umum dilakukan dilakukan dalamm bidang perkebunan.
  1. Kaidah fiqih:  
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
2)       Landasan hukum positif[5]
Dasar hukum atas produk perbankan syariah berupa tabungan dalam hukum positif Indonesia adalah UU no. 10 /1998 tentang perubahan atas UU no. 7/1992 tentang perbankan. Disamping itu juga dapat kita temukan dalam pasal 366 huruf a poin 2 PBI nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yng Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Intinya menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinssip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi antara lain berupa tabungan berdasarkan prinsip mudharabah.

E.     Pemberhentian kontrak (akad) mudharabah
Prinsip umumnya adalah mudharabah bukanlah kontrak (akad) yang mengikat dan masing-masing pihak dapat memberhentikannya secara sepihak kecuali dalam kedua kasus berikut:
1.      Ketika mudharib telah memulai bisnis, dimana kontraknya menjadi bersifat mengikat hingga tanggal likuidasi actual atau konstruktif, dan
2.      Ketika pihak-pihak menyetujui durasi tertentu untuk kontra (akad), dimana ia tidak dapat diberhentikan sebelum berakhirnya periode tersebut kecuali dengan perjanjian bersama. Untuk pemberhentian, mudharib akan diberi waktu untuk menjual asset yang tidak likuid sehingga jumlah keuntungan actual dapat ditentukan.[6] (AAOIFI 2004-5a, standar mengenai mudharabah, klausul 10)
Kekuasaan tidak terbatas untuk untuk memberhentikan mudharabah dapat menciptakan kesulitan dalam konteks keadaan dewasa ini karena kebanyakan perusahaan komersial dewasa ini memerlukanwaktu untuk memetik hasilnya. Bisnis modern juga menuuntut upaya yang kompleksdan berkelanjutan. Oleh karenanya, jika semua pihak menyetujui,ketika memasuki kontak (akad) mudharabah, bahwa tidakada pihak yang dapat memberhentikannya selama periode tertentu, kecuali dalam kondisi tertentu, ia tidak dapat dibilang melanggar prinsip Syariah mana pun, khususnya bila mengingat hadis terkenal yang menyatakan: “semuanya persyaratan yang telah disetujui oleh orang muslim akan dijunjung tinggi, kecuali persyaratan yang memperbolehkan apa yang dilarang dan melarang apa yang diperbolehkan dalam syariah. “
        Jika semua aset Mudharabah sudah menjadi bentuk kas pada saat pemberhentian, dan sebagian keuntungan telah didapatkan dari jumlah modal tersebut, keuntungan tersebut akan didistribusikan diantara pihak – pihak yang ada berdasarkan rasio yang telah disetujui bersama. Akan tetapi, jika aset mudharabah masih belum dalam bentuk kas, mudarib akan diberi kesempatan untuk menjual dan mencairkan aset tersebut sehingga keuntungn aktualnya dapat ditentukan.
Mudharabah terbatas secara otomatis berakhir setelah sasarannya tercapai. Jika mudharabah bersifat umum, akan menjadi kepentingan dari kedua belah pihak untuk mengakhiri kapan pun ketika kedua belah pihak telah menyetujui secara bersama – sama. Kesulitan yang mungkin akan timbul adalah jika salah satu pihak ingin melanjutkan bisnis. Rekonsiliasi pada tititk ini seharusnya dicari melalui pengadilan atau upaya arbitrase lain.[7]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mudharabah (loss and profit sharing)
Salah satu jenis transaksi dimana pihak pemilik dana (shahibul maal) dan pemilik tenaga (mudharib). Penentuan pendapatan didasarkan atas kesepakatan nisbah bagi hasil antara shahibul mal dengan mudharib.
Syarat-syarat:
Orang yang terikat dalam akad cakap hokum, Syarat modal yang digunakan harus: a) Berbentuk uang (bukan barang), b) Jelas jumlahnya, c) tunai (bukan berbentuk hutang), d) Langsung diserahkan kepada mudharib, Pembagian keuntungan haus jelas, dan sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Rukun mudharabah:
Pemilik modal (shahibul mal), Pemilik usaha (mudharib), Proyek atau usaha (amal), Modal (ra’sul maal), Ijab Qabul (sighat), Nisab bagi hasil.
Dasar hukum dari akat mudharabah kita jumpai dalam Al-Qur’an,  Hadist, Ijma’ dan Hukum Positif.
Mudharabah terbatas secara otomatis berakhir setelah sasarannya tercapai.

B.     Kritik dan Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu diharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca yang budiman.



DAFTAR PUSTAKA

·         Ivan Rahmawan A. 2005. Kamus istilah akutansi syari’ah. Yogyakarta. Pilar Media.

·         Muhammad Ayub. 2007. Understanding Islamic finance a-z keuangan syari’ah. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
·         Muhammad ridwan.2005. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta. UII Press.
·         Ahmad Subagyo. 2009. Kamus Istilah Ekonomi Islam. Jakarta. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
·         Dimyaudin Djuwaini. 2010. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
·         Abddul Ghofur Anshori. 2007. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.




[1] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hal. 224
[2] Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2009) hal. 284-285
[3] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII Press, 2005) hal.

[4] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hal.225-227
[5] Abdul ghofuul anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 2007) hal. 89
[6] Muhammad Ayub. Understanding Islamic finance a-z keuangan syari’ah. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2007) hal. 500
[7] Ibid. hal. 501

Comments