Pengertian Dana Talangan Haji
Dana Talangan Haji adalah pinjaman dari Lembaga
Keuangan Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna memperoleh
kursi haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji).
Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam
jangka waktu tertentu. Kemudian Lembaga Keuangan Syariah ini menguruskan
pembiayaan BPIH berikut berkas-berkasnya sampai nasabah tersebut mendapatkan
kursi haji. Atas jasa pengurusan haji tersebut, Lembaga Keuangan Syariah
memperoleh imbalan, yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang
dipinjamkan.
Hukum Dana Talangan Haji
Lembaga–lembaga Keuangan Syariah di dalam menerapkan
Dana Talangan Haji merujuk kepada Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor
29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS
(Lembaga Keuangan Syariah). Jadi akad qardh wa ijarah adalah
gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa),
yaitu jasa LKS memberikan pinjaman kepada nasabah. Dalil utama fatwa DSN ini,
antara lain dalil yang membolehkan ijarah (seperti Qs. Al-Qashash
[28]:26) dan dalil yang membolehkan meminjam uang (qardh) (seperti Qs.
Al-Baqarah [2]:282). Ketentuan umum yang termaktub dalam Fatwa tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat
memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai
fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu
menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai
fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak
boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh
didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Penjelasan Fatwa DSN
Secara teori ketentuan umum yang disebutkan oleh DSN MUI di atas tentang upah dan
pinjam meminjam dalam kasus Dana Talangan Haji sudah benar. Namun apakah
ketentuan itu sesuai dengan yang diterapkan oleh Lembaga-lembaga Keuangan
Syariah dalam hal ini oleh Bank-bank Syariah?
Di dalam ketentuan umum fatwa DSN No. 3, dijelaskan bahwa : “Jasa
pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian
talangan haji.“
Sekarang marilah kita lihat dalam praktiknya, apakah seorang nasabah dibolehkan
meminjam kepada Bank sejumlah uang untuk menutupi biaya haji yang masih kurang,
tanpa meminta jasa kepada Bank Syariah untuk mengurusi masalah
haji-nya? Artinya, Bank Syariah hanya meminjamkan uang saja, tanpa
memungut tambahan sedikitpun?
Sebaliknya, apakah ada seorang nasabah yang sudah mempunyai uang dana haji yang
cukup, kemudian meminta pihak Bank untuk mengurusi hajinya dengan membayar upah
kepengurusan? Mungkin model kedua ini ada, dan bisa terjadi, walaupun sangat
jarang.
Yang jelas, di dalam praktiknya, rata-rata Bank Syariah menawarkan Dana
Talangan Haji kepada nasabah yang belum punya dana yang cukup untuk biaya haji,
dengan ketentuan bahwa pihak Bank yang akan menguruskan pendaftaraan haji dan
meminta upah kepada nasabah. Ini artinya bahwa Bank telah melanggar ketentuan
umum No. 3 dari Fatwa DSN di atas. Dan secara hukum Syariah ini tidak
dibolehkan.
Adapun dasar dari larangan di atas (mensyaratkan jasa pengurusan haji dengan
pemberian dana talangan haji, atau sebaliknya mensyaratkan pemberian dana
talangan dengan meminta jasa pengurusan haji) adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu
:
عن عَبْد
اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ
مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Dari Abdullah bin Amru ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal
menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu
transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual
sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi :
Hadist Ini Hasan Shahih)
Dalam hadist di atas diterangkan bahwa : “tidak halal pinjaman yang disyaratkan
dengan jual beli“, begitu juga tidak halal pinjaman yang disyaratkan dengan
pembayaran jasa (al-ijarah), sebagaimana yang terdapat pada Dana
Talangan Haji.
Kedua : Kaidah Fiqh yang
disarikan dari hadist :
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ فِيهِ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“ Setiap pinjaman yang membawa manfaat (bagi
pemberi pinjaman) adalah riba “
Dalam Dana Talangan Haji, pihak Lembaga Keuangan Syariah (Bank Syariah) memberi
pinjaman kepada nasabah, dan mensyaratkan untuk mengurusi berkas-berkasnya
sampai mendapatkan kursi haji. Itu semuanya dengan imbalan sejumlah uang. Dari
sini, pihak Lembaga Keuangan Syariah mendapatkan manfaat dari pinjaman yang
diberikan kepada nasabah, walaupun melalui jasa kepengurusan, sehingga
dikatagorikan uang jasa tersebut adalah riba.
Ketiga : Pinjaman adalah kegiatan sosial, yang bertujuan
membantu sesama, dan mencari pahala dari Allah, sehingga tidak boleh
dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan materi darinya.
Kesimpulan :
Program Dana Talangan Haji yang digulirkan oleh Lembaga-lembaga Keuangan
Syariah selama ini menimbulkan banyak problematika di masyarakat, diantaranya
bahwa masyarakat yang sebenarnya belum mampu secara financial untuk
melaksanakan ibadah haji, didorong untuk “mampu“ walaupun harus meminjam uang
ke Bank, dan ini berdampak kepada penuhnya kuota jama’ah haji.
Selain itu, walaupun berpegang kepada fatwa DSN MUI, tetapi secara
praktiknya, Dana Talangan Haji ternyata bertentangan dengan fatwa
DSN MUI itu sendiri, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah dalam
Muamalat. Maka, kita berharap agar program ini bisa ditinjau ulang kembali.
Wallahu A’lam.
Bekasi, 25 Rajab 1433 / 15 Juni 2012
Pak ustdz, saya ingin bertanya
mengenai dana talangan haji yang ditawarkan oleh bank bank syariah, itu
bagaimana hukumnya dalam agama islam? Halal atau tidak?
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamualaikum wr wb
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Singkatnya masalah ini bisa kita
kelompokkan sebagai masalah khilafiyah, dimana ada sebagian kalangan ulama yang
membolehkan, namun sebagian lainnya dengan tegas mengharamkannya.
Sebut saja ada Dewan Syariah
Nasional (DSN) di satu pihak yang tegas-tegas menghalalkan dana talangan haji
ini, lewat fatwanya no 29 tahun 2002. Dalam fatwanya itu, DSN membolehkan dana
talangan haji karena dianggap sebagai ujrah atau upah atas jasa menalangi biaya
haji.
Namun di pihak lain kita menemukan
ada banyak suara keberatan dari para ulama yang kurang setuju dengan fatwa DSN
ini. Sebab apa yang disebut ujrah itu tidak lain hanya akal-akalan dan hilah
saja. Sebenarnya keuntungan yang diterima pihak bank tidak lain adalah bunga
hasil dari meminjamkan uang.
Maka dalam status khilafiyah ini,
kita harus bisa memahami kalau ada pihak-pihak yang punya pendapat berbeda
dengan pendapat kita. Dan perbedaan pendapat ini bukan lahan untuk saling
mencaci atau mencemooh, apalagi bersikap dengan perilaku yang kurang terpuji.
Walaupun demikian, tentu juga tidak
salah apabila kita sendiri mempelajari dan lebih mendalami latar belakang
perbedaan pendapat ini dengan seksama, agar kita tahu dengan pasti kenapa kita
memilih suatu pendapat, dan tahu juga apa kelebihan dan kelemahan pendapat
lain.
A. Mengenal Dana Talangan Haji
Sebagaimana kita ketahui, karena
banyaknya peminat mereka yang ingin berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah
suci, maka pihak Kementerian Agama RI mengharuskan para calon jamaah haji untuk
menyetorkan dulu sejumlah dana (kurang lebih 25 juta) sebagai ‘tanda jadi’
bahwa mereka serius ingin berangkat haji.
Tanpa setoran awal ini, maka seorang
jamaah tidak akan tercantum namanya dalam daftar antrian. Memang biaya naik
haji bukan 25 juta, tetapi lebih dari itu, yaitu sekitar 35 jutaan. Uang 25
juta ini sekedar uang untuk bisa ikut dalam antrian.
Tentu buat mereka yang belum punya
uang sebesar 25 juta, tidak mungkin ikut antrian. Oleh karena itu agar segera
bisa ikut antrian, pihak bank kemudian menawarkan dana segar pinjaman kepada
para calon jamaah haji.
Jadi dana talangan haji adalah
sejumlah dana yang dipinjamkan oleh pihak bank kepada masyarakat calon jamaah
haji untuk mendapatkan porsi haji. Dan untuk jasa peminjaman itu, pihak bank
berhak mendapatkan semacam ‘uang jasa’, yang tentunya menjadi sebuah transaksi
yang bersifat profit margin tersendiri dalam bisnisnya.
Justru yang jadi titik masalah pada
‘bunga’ dari pinjaman ini. Logikanya, tidak mungkin sebuah bank, meskipun
berembel-embel syariah, tiba-tiba berbaik hati meminjamkan uang 25 juta begitu
saja, kalau tidak pakai ‘imbalan’ apa pun. Yang namanya bank, pada hakikatnya
adalah sebuah perusahaan. Dan sebuah perusahaan biar bagaimana pun juga bukan
lembaga bantuan sosial. Maka logika dasar yang bisa kita pahami, bank harus
dapat untung.
Dan dalam hal ini, keuntungan
didapat dari hasil meminjamkan uang kepada calon jamaah haji. Tinggal dicarikan
hilah atau alibi agar apa yang awalnya riba dan haram kemudian bisa berubah
jadi halal.
B. Pendapat Yang Menghalalkan
1. Dalil Utama : Bukan Bunga Tetapi
Ujrah. Pihak terdepan yang menghalalkan dana talangan haji ini adalah Dewan
Syariah Nasional (DSN) dengan fatwa nomor 29 tahun 2002. Dalam hal ini DSN
seperti pasang badan untuk menghalalkan apa-apa yang selama ini masih dianggap
belum memenuhi ketentuan syariah.
Dalam pengurusan haji bagi nasabah,
LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah
sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
Apabila diperlukan, LKS dapat
membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh
sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
Jasa pengurusan haji yang dilakukan
LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak
boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada
nasabah.
Dalam fatwa itu memang tidak secara
eksplisit disebutkan bahwa pihak bank boleh menarik keuntungan dari jasa
meminjamkan uang. Yang disebutkan adalah bank boleh mendapatkan imbalan jasa
(ujrah) bukan dari meminjamkan uang, tetapi dari jasa pengurusan haji dengan
prinsip ijarah.
Dengan akad ini seolah-olah pihak
bank syariah diposisikan seperti pihak yang berjasa mengurus segala tetek
bengek keperluan orang yang mau berangkat haji. Dan atas ‘jasa pengurusan’ ini,
maka bank berhak mendapatkan fee atau uang jasa dari calon jamaah haji.
Seolah-olah bank itu adalah
perusahaan travel atau semacam biro agen perjalanan, yang yang berjasa
mengerjakan sesuatu untuk kita, dan untuk itu kita memberinya upah.
Dan karena memberi upah atas jasa
yang dilakukan seseorang dalam hukum Islam memang halal hukumnya, bahkan wajib
ditunaikan, maka hukum memberi uang tambahan itu pun dihukumi sebagai upah yang
halal.
Adapun uang dana talangan yang
dipinjamkan kepada calon jamaah haji, semata-mata pinjaman tanpa bunga dan
tidak ada pungutan. Akadnya lain lagi dari akad ujrah di atas, tetapi akad baru
yang namanya al-qardh.
Maka pihak bank syariah punya dua
akad dengan calon jamaah haji.
Pertama akad ujrah, yaitu jamaah
memberi upah kepada bank syariah karena telah membantu mengurus pendaftaran
haji. Dan akad ini halal karena pada dasarnya akad upah (ujrah) ini memang
halal.
Kedua, akad al-qardh (pinjaman uang)
yang dilakukan tanpa bunga. Sehingga uang yang dipinjamkan 25 juta dan
dikembalikan utuh 25 juta tanpa bunga.
2. Meringankan Beban Biaya Haji
Selain berdasarkan landasan pokok
yang bersifat substantif di atas, mereka yang menghalalkan akad ini juga
menggunakan landasan hukum berdasarkan turunan atau dampak positif yang
ditimbulkan darinya. Di antaranya adalah :
Dengan adanya fasilitas dana
talangan ini, maka terbuka kesempatan buat mereka yang belum dana cukup untuk
berangkat haji. Cukup dengan dana awal sekitar 2 juta rupiah, seseorang bisa
dijamin mendapatkan jatah untuk berangkat haji.
Maka keberadaan dana talangan ini
meringankan beban dalam urusan biaya naik haji dan memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada khalayak untuk mewujudkan impian pergi ke tanah suci.
3. Memberi Jaminan Berangkat Haji
Dengan adanya dana talangan ini,
masyarakat bisa mendapatkan jaminan yang pasti untuk menunaikan ibadah. Kepastian
itu hanya bisa dicapai bila seseorang sudah menyetorkan sejumlah dana tertentu
yang nilainya cukup besar.
Karena ditalangi oleh pihak bank,
maka dana yang cukup besar itu bisa dibayarkan sehingga jaminan berangkat haji
pun dengan mudah bisa didapat.
4. Menguntungkan
Buat pihak Bank sendiri, dana
talangan haji ini sangat menguntungkan dari sisi bisnis dan menjadi sebuah
lahan baru untuk mengeruk keuntungan.
Apalagi mengingat bahwa jumlah
jamaah haji tiap tahun tidak akan pernah berkurang, sebaliknya jumlah calon
jamaah ini selalu naik jumlahnya setiap tahun.
Bahkan ada tambahan nilai, yaitu
kredit yang dikucurkan dapat jaminan untuk bisa dibayarkan tepat waktu.
C. Pendapat Yang Mengharamkan
Di luar Dewan Syariah Nasional,
cukup banyak ulama dan para ahli fiqih yang menolak kehalalan dana talangan
haji ini. Penolakan ini sah dan tidak dilarang, mengingat kedudukan sebuah
fatwa memang tidak mengikat secara hukum.
Walau pun yang mengeluarkan fatwa
sekelas DSN, namun biar bagaimana pun sebuah fatwa bukan undang-undang atau
qanun. Sehingga sebuah fatwa bisa saja diikuti dan bisa saja ditinggalkan. Dan
dalam fatwa itu, DSN memang memberikan semacam ruang untuk mengubah substansi
fatwa itu kalau dianggap kurang tepat. Silahkan baca bagian akhir dari fatwa
DSN itu :
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dengan ketentuan JIKA DI KEMUDIAN HARI TERNYATA TERDAPAT KEKELIRUAN,
AKAN DIUBAH DAN DISEMPURNAKAN SEBAGAIMANA MESTINYA.
Salah satu sebab kenapa sebuah fatwa
boleh ditinggalkan, apabila fatwa itu dianggap kurang tepat atau bertentangan
dengan hasil kajian lain yang dianggap lebih dalam dan lebih akurat.
Di antara hujjah dan dalil tentang
haramnya dana talangan haji ini karena pada hakikatnya uang pinjaman itu
mengharuskan adanya bunga. Dan bunga pinjaman itu adalah riba yang telah
diharamkan.
1. Bukan Ujrah Tetapi Bunga Pinjaman
Menurut pihak yang mengharamkan akad
ini, meski bunyi akadnya bukan pinjam uang pakai bunga, namun secara subtantif
yang sebenarnya terjadi sebenarnya tidak bisa lepas dari transaksi pinjam uang
pakai bunga.
Adapun akad ujrah atau upah atas
jasa pengurusan yang disebut-sebut itu, tidak lain hanya sekedar ‘hilah’ atau
alibi yang dibuat-buat.
Kenapa disebut sebagai alibi yang
dibuat-buat?
Karena ‘jasa pengurusan’ itu memang
tidak pernah dilakukan oleh pihak bank. Sebab dalam undang-undang dan
ketentuannya, bank tidak dibenarkan melakukan ‘jasa-jasa pengurusan’, karena
bank bukanlah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengurusan
perjalanan.
Kalau memang benar bahwa bank telah melakukan
jasa pengurusan, maka seharusnya bank itu benar-benar mengerjakannya. Dan jenis
pekerjaan jasa pengurusan haji ini cukup banyak, diantaranya
- Melaksanakan bimbingan ibadah manasik haji buat jamaah
sejak di tanah air
- Membuatkan passport buat jamaah
- Mengurus visa haji di Kedutaan Besar Saudi Arabia.
- Mengurus tiket atau menyewa 18 unit pesawat charter
khusus haji
- Memesan kamar hotel atau penginapan baik di Mekkah,
Madinah ataupun Jeddah
- Memesan menu makan katering buat jamaah selama di tanah
suci
- Mengatur petugas handling di airport
- Menyiapkan tenaga petugas mutawwif
- Memesan kendaraan selama di tanah suci
- Menyediakan tenaga kesehatan
Dan tentu masih banyak jenis
pekerjaan lain yang terkait dengan jasa pengurusan jamaah haji yang tidak
disebutkan disini.
Namun meski mengaku-ngaku telah
berjasa mengurus jamaah haji, ternyata tidak satu pun dari item-item di atas
yang benar-benar dilakukan oleh pihak bank syariah. Satu-satu yang dilakukan
cuma meminjamkan uang, plus memasukkan data jamaah haji ke komputer pusat
(siskohaj).
Kalau pun memasukkan data jamaah ke
siskohaj ini dianggap jasa, logika akal sehatnya tentu tidak harus sampai bayar
berjuta-juta. Fee atau ujrah yang masuk akal dan bukan akal-akalan misalnya 10
ribu per orang. Tetapi kalau dikenakan biaya sampai ratusan ribu apalagi pakai
juta-jutaan, kita semua sepakat ini cuma akal-akalan. Anak kecil pun tahu kalau
dirinya diakali.
Maka meski bunyi akadnya akad ujrah
atau upah, tetapi substansinya tetap saja yang disasar adalah bagaimana
pinjaman atau talangan dana itu bisa menghasilkan keuntungan.
Walaupun kewajiban tambahan itu
diganti istilahnya dengan beragam istilah yang diperhalus, seperti uang
administrasi, uang terima kasih, uang pengertian, bahkan termasuk uang atas
konsekuensi inflasi, tetap saja tidak akan mengubah posisi dan status
keharamannya.
Apalagi kalau diganti namanya
menjadi ‘uang jasa’, lebih jelas lagi kepalsuannya. Sebab kalau meminjamkan
uang dianggap sebagai jasa, lalu atas jasa itu boleh diberi upah, maka semua
transaksi ribawi dimana pun akan minta keadilan dan berkilah bahwa mereka pun
merasa berjasa.
Para rentenir dan lintah darat pun
akan merasa bahwa mereka telah berjasa besar, sebab dengan uang pinjaman yang
mereka berikan itu, banyak orang yang kesulitan uang akan mendapatkan manfaat.
Lantas kalau rentenir itu merasa
berhak untuk mendapatkan semacam ‘imbalan’ atas jasa meminjamkan uangnya, maka
pada akhirnya usaha rentenir pun akan jadi halal hukumnya. Mereka akan berkilah
bahwa mereka tidak makan bunga riba, tetapi mereka menjual jasa.
2. Tidak Punya Uang 25 Juta Berarti
Tidak Mampu dan Tidak Wajib Haji
Upaya bank meminjamkan calon haji
uang sebesar 25 juta tentu sebuah niat baik. Namun karena sifatnya pinjaman,
tetap saja ada kewajiban untuk mengembalikannya, itupun masih harus dengan
tambahannya. Maka pihak yang dipinjamkan itu pada hakikatnya bukan orang yang
mampu untuk berangkat haji.
Kalau pun mereka berangkat haji dan
menjalankan semua syarat dan rukunnya, memang hukumnya sah. Tetapi kalau
dilihat dari sisi syarat wajib, sebenarnya mereka ini belum termasuk kelompok
yang wajib melaksanakan ibadah haji.
Sementara Al-Quran dengan tegas
mensyaratkan bahwa hanya mereka yang mampu saja yang diperintahkan untuk
melaksanakan ibadah haji. Sedangkan mereka yang tidak mampu, tidak diwajibkan
bahkan bisa gugur kewajibannya.
Dampak negatifnya adalah bahwa
mereka yang sebenarnya punya uang dan mampu, kalau tidak cepat-cepat mendaftar
akan kehilangan kesempatan. Sebab jatahnya sudah diambil oleh mereka yang
sebenarnya belum mampu.
Di satu sisi fasilitas dana talangan
ini memang membantu orang yang tidak mampu untuk bisa mewujudkan impiannya
pergi haji ke tanah suci. Tetapi di sisi lain, justru dana talangan ini malah
membuat skala prioritas menjadi acak-acakan. Setidaknya, mereka yang sudah
wajib melaksanakan haji jadi terhambat niatnya gara-gara ada orang yang belum
sampai ke level wajib haji sudah mengambil jatah duluan.
3. Takalluf dan Memberatkan
Pinjam uang untuk pergi haji bagi
mereka yang memang belum punya uang cukup merupakan sebuah tindakan takalluf
atau memaksakan diri yang bukan pada tempatnya.
Padahal isyarat dan pesan dalam
Al-Quran menyebutkan bahwa hanya mereka yang mampu saja yang diperintahkan
untuk berangkat haji. Kalau memang belum punya harta sebesar itu, kewajiban berangkat
haji sudah gugur.
Sementara di balik dari janji
kemudahan yang diiming-imingkan, sebenarnya ada kewajiban untuk membayar biaya
haji jauh lebih mahal. Logikanya, tidak mungkin pihak bank mau bermurah hati
bagi-bagi uang secara gratisan. Dan apalah artinya peminjaman itu kalau sekedar
pulang modal tanpa ada keuntungan yang ditarik dari masyarakat.
Sayangnya, hal ini kurang
ditonjolkan sejak awal. Masyarakat dibiasakan hidup dengan selalu terlilit
dengan hutang, hutang dan hutang. Dan dalam rumus dasarnya, tidak ada hutang
yang scorenya 0 – 0 alias tanpa bunga.
Beban bunga inilah yang justru
ditutup-tutupi sedemikian rupa sehingga yang lebih dominan hanya sisi fasilitas
cairnya dana pinjaman.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Comments
Post a Comment