Pengertian Dana Talangan Haji

Pengertian Dana Talangan Haji Dana Talangan Haji adalah pinjaman dari Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna memperoleh kursi  haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Lembaga Keuangan Syariah ini menguruskan pembiayaan BPIH berikut berkas-berkasnya sampai nasabah tersebut mendapatkan kursi haji. Atas jasa pengurusan haji tersebut, Lembaga Keuangan Syariah memperoleh imbalan, yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Hukum Dana Talangan Haji Lembaga–lembaga Keuangan Syariah di dalam menerapkan Dana Talangan Haji merujuk kepada Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah).  Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), ...

Dana Talangan Haji



Pengertian Dana Talangan Haji
Dana Talangan Haji adalah pinjaman dari Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna memperoleh kursi  haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Lembaga Keuangan Syariah ini menguruskan pembiayaan BPIH berikut berkas-berkasnya sampai nasabah tersebut mendapatkan kursi haji. Atas jasa pengurusan haji tersebut, Lembaga Keuangan Syariah memperoleh imbalan, yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
Hukum Dana Talangan Haji
Lembaga–lembaga Keuangan Syariah di dalam menerapkan Dana Talangan Haji merujuk kepada Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah).  Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), yaitu jasa LKS memberikan pinjaman kepada nasabah. Dalil utama fatwa DSN ini, antara lain dalil yang membolehkan ijarah (seperti Qs. Al-Qashash [28]:26) dan dalil yang membolehkan meminjam uang (qardh) (seperti Qs. Al-Baqarah [2]:282). Ketentuan umum yang termaktub dalam Fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
          Penjelasan  Fatwa DSN  
          Secara teori ketentuan umum yang disebutkan oleh DSN MUI di atas tentang upah dan pinjam meminjam  dalam kasus Dana Talangan Haji sudah benar. Namun apakah ketentuan itu sesuai dengan yang diterapkan oleh Lembaga-lembaga Keuangan Syariah dalam hal ini oleh Bank-bank Syariah?
          Di dalam ketentuan umum fatwa DSN No. 3,  dijelaskan bahwa : “Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.“
          Sekarang marilah kita lihat dalam praktiknya, apakah seorang nasabah dibolehkan meminjam kepada Bank sejumlah uang untuk menutupi biaya haji yang masih kurang, tanpa meminta jasa kepada Bank Syariah untuk mengurusi  masalah haji-nya?  Artinya, Bank Syariah hanya meminjamkan uang saja, tanpa memungut tambahan sedikitpun?
          Sebaliknya, apakah ada seorang nasabah yang sudah mempunyai uang dana haji yang cukup, kemudian meminta pihak Bank untuk mengurusi hajinya dengan membayar upah kepengurusan? Mungkin model kedua ini ada, dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang.
          Yang jelas, di dalam praktiknya, rata-rata Bank Syariah menawarkan Dana Talangan Haji kepada nasabah yang belum punya dana yang cukup untuk biaya haji, dengan ketentuan bahwa pihak Bank yang akan menguruskan pendaftaraan haji dan meminta upah kepada nasabah. Ini artinya bahwa Bank telah melanggar ketentuan umum No. 3 dari Fatwa DSN di atas. Dan secara hukum Syariah ini tidak dibolehkan.
          Adapun dasar dari larangan di atas (mensyaratkan jasa pengurusan haji dengan pemberian dana talangan haji, atau sebaliknya mensyaratkan pemberian dana talangan dengan meminta jasa pengurusan haji) adalah sebagai berikut :
          Pertama : Hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu :
عن عَبْد اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Dari Abdullah bin Amru ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : Hadist Ini Hasan Shahih)
          Dalam hadist di atas diterangkan bahwa : “tidak halal pinjaman yang disyaratkan dengan jual beli“, begitu juga tidak halal pinjaman yang disyaratkan dengan pembayaran jasa (al-ijarah), sebagaimana yang terdapat pada Dana Talangan Haji.
Kedua : Kaidah Fiqh yang disarikan dari hadist :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ فِيهِ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“ Setiap pinjaman yang membawa manfaat (bagi pemberi pinjaman) adalah riba
          Dalam Dana Talangan Haji, pihak Lembaga Keuangan Syariah (Bank Syariah) memberi pinjaman kepada nasabah, dan mensyaratkan untuk mengurusi berkas-berkasnya sampai mendapatkan kursi haji. Itu semuanya dengan imbalan sejumlah uang. Dari sini, pihak Lembaga Keuangan Syariah mendapatkan manfaat dari pinjaman yang diberikan kepada nasabah, walaupun melalui jasa kepengurusan, sehingga dikatagorikan uang jasa tersebut adalah riba.
          Ketiga : Pinjaman adalah kegiatan sosial, yang bertujuan membantu sesama, dan mencari pahala dari Allah, sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan materi darinya.
          Kesimpulan :
          Program Dana Talangan Haji yang digulirkan oleh Lembaga-lembaga Keuangan Syariah selama ini menimbulkan banyak problematika di masyarakat, diantaranya bahwa masyarakat yang sebenarnya belum mampu secara financial untuk melaksanakan ibadah haji, didorong untuk “mampu“ walaupun harus meminjam uang ke Bank, dan ini berdampak kepada penuhnya kuota jama’ah haji.
          Selain itu, walaupun berpegang kepada fatwa DSN MUI, tetapi secara praktiknya,  Dana Talangan Haji  ternyata bertentangan dengan fatwa DSN MUI itu sendiri, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah dalam Muamalat. Maka, kita berharap agar program ini bisa ditinjau ulang kembali. Wallahu A’lam.
          Bekasi, 25 Rajab 1433 / 15 Juni 2012
Pak ustdz, saya ingin bertanya mengenai dana talangan haji yang ditawarkan oleh bank bank syariah, itu bagaimana hukumnya dalam agama islam? Halal atau tidak?
Terima kasih atas jawabannya. Wassalamualaikum wr wb
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Singkatnya masalah ini bisa kita kelompokkan sebagai masalah khilafiyah, dimana ada sebagian kalangan ulama yang membolehkan, namun sebagian lainnya dengan tegas mengharamkannya.
Sebut saja ada Dewan Syariah Nasional (DSN) di satu pihak yang tegas-tegas menghalalkan dana talangan haji ini, lewat fatwanya no 29 tahun 2002. Dalam fatwanya itu, DSN membolehkan dana talangan haji karena dianggap sebagai ujrah atau upah atas jasa menalangi biaya haji.
Namun di pihak lain kita menemukan ada banyak suara keberatan dari para ulama yang kurang setuju dengan fatwa DSN ini. Sebab apa yang disebut ujrah itu tidak lain hanya akal-akalan dan hilah saja. Sebenarnya keuntungan yang diterima pihak bank tidak lain adalah bunga hasil dari meminjamkan uang.
Maka dalam status khilafiyah ini, kita harus bisa memahami kalau ada pihak-pihak yang punya pendapat berbeda dengan pendapat kita. Dan perbedaan pendapat ini bukan lahan untuk saling mencaci atau mencemooh, apalagi bersikap dengan perilaku yang kurang terpuji.
Walaupun demikian, tentu juga tidak salah apabila kita sendiri mempelajari dan lebih mendalami latar belakang perbedaan pendapat ini dengan seksama, agar kita tahu dengan pasti kenapa kita memilih suatu pendapat, dan tahu juga apa kelebihan dan kelemahan pendapat lain.
A. Mengenal Dana Talangan Haji
Sebagaimana kita ketahui, karena banyaknya peminat mereka yang ingin berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci, maka pihak Kementerian Agama RI mengharuskan para calon jamaah haji untuk menyetorkan dulu sejumlah dana (kurang lebih 25 juta) sebagai ‘tanda jadi’ bahwa mereka serius ingin berangkat haji.
Tanpa setoran awal ini, maka seorang jamaah tidak akan tercantum namanya dalam daftar antrian. Memang biaya naik haji bukan 25 juta, tetapi lebih dari itu, yaitu sekitar 35 jutaan. Uang 25 juta ini sekedar uang untuk bisa ikut dalam antrian.
Tentu buat mereka yang belum punya uang sebesar 25 juta, tidak mungkin ikut antrian. Oleh karena itu agar segera bisa ikut antrian, pihak bank kemudian menawarkan dana segar pinjaman kepada para calon jamaah haji.
Jadi dana talangan haji adalah sejumlah dana yang dipinjamkan oleh pihak bank kepada masyarakat calon jamaah haji untuk mendapatkan porsi haji. Dan untuk jasa peminjaman itu, pihak bank berhak mendapatkan semacam ‘uang jasa’, yang tentunya menjadi sebuah transaksi yang bersifat profit margin tersendiri dalam bisnisnya.
Justru yang jadi titik masalah pada ‘bunga’ dari pinjaman ini. Logikanya, tidak mungkin sebuah bank, meskipun berembel-embel syariah, tiba-tiba berbaik hati meminjamkan uang 25 juta begitu saja, kalau tidak pakai ‘imbalan’ apa pun. Yang namanya bank, pada hakikatnya adalah sebuah perusahaan. Dan sebuah perusahaan biar bagaimana pun juga bukan lembaga bantuan sosial. Maka logika dasar yang bisa kita pahami, bank harus dapat untung.
Dan dalam hal ini, keuntungan didapat dari hasil meminjamkan uang kepada calon jamaah haji. Tinggal dicarikan hilah atau alibi agar apa yang awalnya riba dan haram kemudian bisa berubah jadi halal.
B. Pendapat Yang Menghalalkan
1. Dalil Utama : Bukan Bunga Tetapi Ujrah. Pihak terdepan yang menghalalkan dana talangan haji ini adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan fatwa nomor 29 tahun 2002. Dalam hal ini DSN seperti pasang badan untuk menghalalkan apa-apa yang selama ini masih dianggap belum memenuhi ketentuan syariah.
Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Dalam fatwa itu memang tidak secara eksplisit disebutkan bahwa pihak bank boleh menarik keuntungan dari jasa meminjamkan uang. Yang disebutkan adalah bank boleh mendapatkan imbalan jasa (ujrah) bukan dari meminjamkan uang, tetapi dari jasa pengurusan haji dengan prinsip ijarah.
Dengan akad ini seolah-olah pihak bank syariah diposisikan seperti pihak yang berjasa mengurus segala tetek bengek keperluan orang yang mau berangkat haji. Dan atas ‘jasa pengurusan’ ini, maka bank berhak mendapatkan fee atau uang jasa dari calon jamaah haji.
Seolah-olah bank itu adalah perusahaan travel atau semacam biro agen perjalanan, yang yang berjasa mengerjakan sesuatu untuk kita, dan untuk itu kita memberinya upah.
Dan karena memberi upah atas jasa yang dilakukan seseorang dalam hukum Islam memang halal hukumnya, bahkan wajib ditunaikan, maka hukum memberi uang tambahan itu pun dihukumi sebagai upah yang halal.
Adapun uang dana talangan yang dipinjamkan kepada calon jamaah haji, semata-mata pinjaman tanpa bunga dan tidak ada pungutan. Akadnya lain lagi dari akad ujrah di atas, tetapi akad baru yang namanya al-qardh.
Maka pihak bank syariah punya dua akad dengan calon jamaah haji.
Pertama akad ujrah, yaitu jamaah memberi upah kepada bank syariah karena telah membantu mengurus pendaftaran haji. Dan akad ini halal karena pada dasarnya akad upah (ujrah) ini memang halal.
Kedua, akad al-qardh (pinjaman uang) yang dilakukan tanpa bunga. Sehingga uang yang dipinjamkan 25 juta dan dikembalikan utuh 25 juta tanpa bunga.
2. Meringankan Beban Biaya Haji
Selain berdasarkan landasan pokok yang bersifat substantif di atas, mereka yang menghalalkan akad ini juga menggunakan landasan hukum berdasarkan turunan atau dampak positif yang ditimbulkan darinya. Di antaranya adalah :
Dengan adanya fasilitas dana talangan ini, maka terbuka kesempatan buat mereka yang belum dana cukup untuk berangkat haji. Cukup dengan dana awal sekitar 2 juta rupiah, seseorang bisa dijamin mendapatkan jatah untuk berangkat haji.
Maka keberadaan dana talangan ini meringankan beban dalam urusan biaya naik haji dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada khalayak untuk mewujudkan impian pergi ke tanah suci.
3. Memberi Jaminan Berangkat Haji
Dengan adanya dana talangan ini, masyarakat bisa mendapatkan jaminan yang pasti untuk menunaikan ibadah. Kepastian itu hanya bisa dicapai bila seseorang sudah menyetorkan sejumlah dana tertentu yang nilainya cukup besar.
Karena ditalangi oleh pihak bank, maka dana yang cukup besar itu bisa dibayarkan sehingga jaminan berangkat haji pun dengan mudah bisa didapat.
4. Menguntungkan
Buat pihak Bank sendiri, dana talangan haji ini sangat menguntungkan dari sisi bisnis dan menjadi sebuah lahan baru untuk mengeruk keuntungan.
Apalagi mengingat bahwa jumlah jamaah haji tiap tahun tidak akan pernah berkurang, sebaliknya jumlah calon jamaah ini selalu naik jumlahnya setiap tahun.
Bahkan ada tambahan nilai, yaitu kredit yang dikucurkan dapat jaminan untuk bisa dibayarkan tepat waktu.
C. Pendapat Yang Mengharamkan
Di luar Dewan Syariah Nasional, cukup banyak ulama dan para ahli fiqih yang menolak kehalalan dana talangan haji ini. Penolakan ini sah dan tidak dilarang, mengingat kedudukan sebuah fatwa memang tidak mengikat secara hukum.
Walau pun yang mengeluarkan fatwa sekelas DSN, namun biar bagaimana pun sebuah fatwa bukan undang-undang atau qanun. Sehingga sebuah fatwa bisa saja diikuti dan bisa saja ditinggalkan. Dan dalam fatwa itu, DSN memang memberikan semacam ruang untuk mengubah substansi fatwa itu kalau dianggap kurang tepat. Silahkan baca bagian akhir dari fatwa DSN itu :
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan JIKA DI KEMUDIAN HARI TERNYATA TERDAPAT KEKELIRUAN, AKAN DIUBAH DAN DISEMPURNAKAN SEBAGAIMANA MESTINYA.
Salah satu sebab kenapa sebuah fatwa boleh ditinggalkan, apabila fatwa itu dianggap kurang tepat atau bertentangan dengan hasil kajian lain yang dianggap lebih dalam dan lebih akurat.
Di antara hujjah dan dalil tentang haramnya dana talangan haji ini karena pada hakikatnya uang pinjaman itu mengharuskan adanya bunga. Dan bunga pinjaman itu adalah riba yang telah diharamkan.
1. Bukan Ujrah Tetapi Bunga Pinjaman
Menurut pihak yang mengharamkan akad ini, meski bunyi akadnya bukan pinjam uang pakai bunga, namun secara subtantif yang sebenarnya terjadi sebenarnya tidak bisa lepas dari transaksi pinjam uang pakai bunga.
Adapun akad ujrah atau upah atas jasa pengurusan yang disebut-sebut itu, tidak lain hanya sekedar ‘hilah’ atau alibi yang dibuat-buat.
Kenapa disebut sebagai alibi yang dibuat-buat?
Karena ‘jasa pengurusan’ itu memang tidak pernah dilakukan oleh pihak bank. Sebab dalam undang-undang dan ketentuannya, bank tidak dibenarkan melakukan ‘jasa-jasa pengurusan’, karena bank bukanlah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengurusan perjalanan.
Kalau memang benar bahwa bank telah melakukan jasa pengurusan, maka seharusnya bank itu benar-benar mengerjakannya. Dan jenis pekerjaan jasa pengurusan haji ini cukup banyak, diantaranya
  • Melaksanakan bimbingan ibadah manasik haji buat jamaah sejak di tanah air
  • Membuatkan passport buat jamaah
  • Mengurus visa haji di Kedutaan Besar Saudi Arabia.
  • Mengurus tiket atau menyewa 18 unit pesawat charter khusus haji
  • Memesan kamar hotel atau penginapan baik di Mekkah, Madinah ataupun Jeddah
  • Memesan menu makan katering buat jamaah selama di tanah suci
  • Mengatur petugas handling di airport
  • Menyiapkan tenaga petugas mutawwif
  • Memesan kendaraan selama di tanah suci
  • Menyediakan tenaga kesehatan
Dan tentu masih banyak jenis pekerjaan lain yang terkait dengan jasa pengurusan jamaah haji yang tidak disebutkan disini.
Namun meski mengaku-ngaku telah berjasa mengurus jamaah haji, ternyata tidak satu pun dari item-item di atas yang benar-benar dilakukan oleh pihak bank syariah. Satu-satu yang dilakukan cuma meminjamkan uang, plus memasukkan data jamaah haji ke komputer pusat (siskohaj).
Kalau pun memasukkan data jamaah ke siskohaj ini dianggap jasa, logika akal sehatnya tentu tidak harus sampai bayar berjuta-juta. Fee atau ujrah yang masuk akal dan bukan akal-akalan misalnya 10 ribu per orang. Tetapi kalau dikenakan biaya sampai ratusan ribu apalagi pakai juta-jutaan, kita semua sepakat ini cuma akal-akalan. Anak kecil pun tahu kalau dirinya diakali.
Maka meski bunyi akadnya akad ujrah atau upah, tetapi substansinya tetap saja yang disasar adalah bagaimana pinjaman atau talangan dana itu bisa menghasilkan keuntungan.
Walaupun kewajiban tambahan itu diganti istilahnya dengan beragam istilah yang diperhalus, seperti uang administrasi, uang terima kasih, uang pengertian, bahkan termasuk uang atas konsekuensi inflasi, tetap saja tidak akan mengubah posisi dan status keharamannya.
Apalagi kalau diganti namanya menjadi ‘uang jasa’, lebih jelas lagi kepalsuannya. Sebab kalau meminjamkan uang dianggap sebagai jasa, lalu atas jasa itu boleh diberi upah, maka semua transaksi ribawi dimana pun akan minta keadilan dan berkilah bahwa mereka pun merasa berjasa.
Para rentenir dan lintah darat pun akan merasa bahwa mereka telah berjasa besar, sebab dengan uang pinjaman yang mereka berikan itu, banyak orang yang kesulitan uang akan mendapatkan manfaat.
Lantas kalau rentenir itu merasa berhak untuk mendapatkan semacam ‘imbalan’ atas jasa meminjamkan uangnya, maka pada akhirnya usaha rentenir pun akan jadi halal hukumnya. Mereka akan berkilah bahwa mereka tidak makan bunga riba, tetapi mereka menjual jasa.
2. Tidak Punya Uang 25 Juta Berarti Tidak Mampu dan Tidak Wajib Haji
Upaya bank meminjamkan calon haji uang sebesar 25 juta tentu sebuah niat baik. Namun karena sifatnya pinjaman, tetap saja ada kewajiban untuk mengembalikannya, itupun masih harus dengan tambahannya. Maka pihak yang dipinjamkan itu pada hakikatnya bukan orang yang mampu untuk berangkat haji.
Kalau pun mereka berangkat haji dan menjalankan semua syarat dan rukunnya, memang hukumnya sah. Tetapi kalau dilihat dari sisi syarat wajib, sebenarnya mereka ini belum termasuk kelompok yang wajib melaksanakan ibadah haji.
Sementara Al-Quran dengan tegas mensyaratkan bahwa hanya mereka yang mampu saja yang diperintahkan untuk melaksanakan ibadah haji. Sedangkan mereka yang tidak mampu, tidak diwajibkan bahkan bisa gugur kewajibannya.
Dampak negatifnya adalah bahwa mereka yang sebenarnya punya uang dan mampu, kalau tidak cepat-cepat mendaftar akan kehilangan kesempatan. Sebab jatahnya sudah diambil oleh mereka yang sebenarnya belum mampu.
Di satu sisi fasilitas dana talangan ini memang membantu orang yang tidak mampu untuk bisa mewujudkan impiannya pergi haji ke tanah suci. Tetapi di sisi lain, justru dana talangan ini malah membuat skala prioritas menjadi acak-acakan. Setidaknya, mereka yang sudah wajib melaksanakan haji jadi terhambat niatnya gara-gara ada orang yang belum sampai ke level wajib haji sudah mengambil jatah duluan.
3. Takalluf dan Memberatkan
Pinjam uang untuk pergi haji bagi mereka yang memang belum punya uang cukup merupakan sebuah tindakan takalluf atau memaksakan diri yang bukan pada tempatnya.
Padahal isyarat dan pesan dalam Al-Quran menyebutkan bahwa hanya mereka yang mampu saja yang diperintahkan untuk berangkat haji. Kalau memang belum punya harta sebesar itu, kewajiban berangkat haji sudah gugur.
Sementara di balik dari janji kemudahan yang diiming-imingkan, sebenarnya ada kewajiban untuk membayar biaya haji jauh lebih mahal. Logikanya, tidak mungkin pihak bank mau bermurah hati bagi-bagi uang secara gratisan. Dan apalah artinya peminjaman itu kalau sekedar pulang modal tanpa ada keuntungan yang ditarik dari masyarakat.
Sayangnya, hal ini kurang ditonjolkan sejak awal. Masyarakat dibiasakan hidup dengan selalu terlilit dengan hutang, hutang dan hutang. Dan dalam rumus dasarnya, tidak ada hutang yang scorenya 0 – 0 alias tanpa bunga.
Beban bunga inilah yang justru ditutup-tutupi sedemikian rupa sehingga yang lebih dominan hanya sisi fasilitas cairnya dana pinjaman.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

Comments